Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Masa Depan Otak Manusia?

4 Mei 2020   12:24 Diperbarui: 4 Mei 2020   16:46 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita meletakkannya di atas batu prasasti, di kulit pohon dan hewan, di kertas paphyrus, tablet tanah liat, dan pada akhirnya tumpukan buku di  perpustakaan yang ruang penyimpanannya selalu lebih kecil dari kapasitas otak kita.

Peletakan memori ini kita kenal dengan istilah menulis. Penemuan tulisan dan kerja menulis adalah konstalasi kosmos yang menghubungkan antarzaman, memutuskan belenggu antargaris waktu dan setiap zona disatukan dengan acak.

Sejak awal milenium 2000 kita telah melompat ke dunia digital dalam keterhubungan tanpa batas. Dunia virtual adalah dunia kita abad ini. Dunia ketika buku-buku tercetak bersaing dengan buku-buku digital yang mampu memutuskan jarak tempuh. 

Namun buku-buku tercetak tetaplah keagungan peradaban akal, seperti Eropa yang tetap mempertahankan bangunan-bangunan tua era Victoria dan Tudor.

Menjadi pertanyaan, apakah cara pandang milenial akan tetap sama. Mereka berada di estafet terakhir ketakjuban abad ini, suatu revolusi gegas yang melejit dalam hitungan hari. Urusan-urasan fisik mulai ditinggalkan, mereka menetap lebih lama di ruang maya.

Peletakan memori kepada medium lainnya seperti buku, dan kini perpustakaan digital yang maha luas telah usai dilakukan. Satu lagi, kita tidak hanya meletakkan, tapi membiarkan proses berpikir berada di luar otak. Taruhlah teknologi usang pertama yang kita kenal adalah mesin hitung atau kalkulator.

Kini dengan cepat kita mengenal kecerdasan buatan, otomasi dan robotika. Mereka melakukan pekerjaan jauh lebih baik dari pada manusia. Ancaman akan datang dari kecerdasan buatan atau artifisial yang kita sebut AI (Artificial Intelegence). Mereka mampu berpikir seperti otak kita, dan mampu memanggil memori dalam kecepatan kilat. Kita akan semakin jauh tertinggal, bila kemudian kapitalisme masa depan makin mengabaikan humanisme.

Satu-satunya yang tidak dimiliki AI saat ini adalah kesadaran. Ia adalah Pedang Berkilauan kita, tarian kosmik kita, dan sejarah kemanusiaan kita nan elegan. Kesadaran adalah karunia Tuhan yang harus kita indahkan untuk mempertahankan eksistensi kita di bumi. Tentunya dengan dampingan iman. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun