Untuk sampai ke tahap ini, manusia melewati semacam lompatan kuantum. Tidak ada jejak sejarah yang utuh, kita hanya penyusun puzzle. Dan percikan cahaya terang datang dari masa purba dalam bentuk revolusi kognitif. Manusia mulai menciptakan bahasa dan mengukir di atas batu. Tapi itu tidak berarti apa-apa, sampai ditemukannya api.
Api adalah suatu megatrend global zaman Pleistosen. Tidak ada yang tidak selesai dengan api. Seluruh hutan otomatis berada dalam kendali manusia. Semua raja rimba telah diusir, termasuk gajah purba yang paling disegani atau singa bergigi pedang yang paling mematikan.
Sapiens sebagai moyang manusia mengintip bagaimana api dipercikkan dari batu oleh Neanderthal, suatu spesies purba yang amat mirip manusia. Neanderthal lebih dulu cerdas dengan volume otak 325 sentimeter kubik lebih besar dari kita.
Neanderthal dikenal cerdas tapi tidak selicik Sapiens. Jurnal Scientific Reports mengungkap bahwa Neanderthal menggunakan alat batu untuk membuat percikan api sejak 50.000 tahun lalu. Dalam Mausteriuan (suatu tradisi menciptakan alat-alat khas Neanderthal) mereka merancang gadget berupa batu yang bisa memantik api dengan cepat.
Sayangnya di tangan makhluk gua ini, alat tersebut hanya bersifat trend, bukan megatrend. Megatrend adalah suatu perubahan multidimensi berskala besar yang dapat dilakukan oleh manusia. Begitu mengenggam api, manusia tidak hanya diperbincangkan oleh sebelantara rimba sebagai makhluk tegak yang bisa bicara, tapi juga predator dengan bunga merah menyala.
Dengan api pula manusia dapat memecat dewa Hefaistos yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai ahli teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi.
Dengan api, manusia melakukan pengusiran di lembah, perbukitan dan sepanjang bibir pantai. Api adalah pembuktian jejak otak reptil manusia yang cemas, tidak bijaksana dan fokus pada teritorial. Dengan api pula manusia membakar kota-kota dan buku-buku.
Dengan otak reptilnya Julius Caesar membakar perpustakaan Aleksandria, Nero membakar Roma dan Hulagu Khan membakar di Bagdad. Para pemimpin dunia modern yang berotak reptil, akan banyak berbicara tentang senjata nuklir dan pembakaran kota-kota dalam kendali jarak jauh.
Api adalah suatu megatrend yang telah mencapai lapisan teratas penciptaannya dalam bentuk energi elektrifikasi yang mengantarkan kita untuk memenuhi keriangan era digital. Suatu megatrend dalam ciri khasnya yang pelan kini ingin melakukan lompatan kuantum berikutnya. COVID-19 adalah trigger untuk memenuhi takdir teknologi 4.0 dengan sangat masif.
Terdapat enam megatrend global yang akan dan sedang mendatangi manusia seperti juga pernah dituturkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro (2016). Pertama, megatrend demografi. Ditandai dengan semakin tingginya migrasi antar negara (borderless society). Kedua, megatrend urbanisasi. Pada 2050, PBB memperkirakan sekitar 65 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan dengan 95 persen pertambahannya terjadi di emerging economies.
Ketiga, megatrend perdagangan internasional. Kawasan Asia Pasifik diyakini tetap mampu menjadi poros perdagangan dan investasi dunia. Keempat, megatrend kemunculan kelas menengah di emerging market economies (EMEs) di kawasan Asia dan Amerika Latin. Kelima, megatrend dalam persaingan sumber daya alam (SDA) dan geostrategis. Keenam, revolusi industri yang sedang memasuki fase Industri 4.0.
Digitalisasi telah dipacu oleh revolusi industri 4.0 di mana kecerdasan artifisial, big data dan analytics, internet of things (IoT), dan komputasi awan mendominasi transformasi digital hingga 2050. Penguncian sosial secara global sebagai dampak COVID-19 membuat semua orang harus terdigitalisasi.
Inilah suatu megatrend yang bergerak secara evolusi menjadi revolusi. Sebelumnya ia dengan pelan mendisrupsi banyak bidang. Terobosan digital semakin mengganggu semua sektor seperti layanan keuangan (misalnya Fintech dengan platform P2P), crowdfunding ekuitas, sistem pembayaran daring, cryptocurrency, dan blockchain.
Dan sekarang semua sektor harus dengan cepat terdigitalisasi. Bila COVID-19 akhirnya tamat, suatu preseden era 4.0 telah tercipta. Kita tinggal memilih apakah tetap terdigitalisasi atau kembali ke periode manual.
Selidik punya selidik, mengapa si cerdas Neanderthal punah padahal Sapiens tidak membakar penemunya. Para ahli berpendapat, periode dingin maksimal yang menerpa Eropa pada 40.000 tahun lalu menjadi faktor penting yang membuat kurangnya populasi Neanderthal hingga punah.
Neanderthal pada zamannya terlalu cerdas untuk menciptakan alat-alat, dan menganggap api bukanlah temuan terpenting. Padahal sepanjang terkungkung dalam periode dingin, api bisa menghangatkan tubuh mereka. Sedangkan Sapiens menjaganya seperti api olimpiade, mengembangkan unggun menjadi tungku api dan pendiangan sebagai lambang kemewahan musim dingin hingga abad pertengahan. Kita jangan seperti Neanderthal, tidak juga Sapiens dengan otak reptil. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H