Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Paradoks! Makin Halus Bertutur, Makin Permisif terhadap Kejahatan

15 Juli 2019   08:46 Diperbarui: 8 September 2019   17:34 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumpun Melayu dan Asia Timur secara tradisional dikenal memiliki budaya komunikasi konteks tinggi (high context communication), berbasa basi penuh sungkan dan berputar-putar untuk tidak langsung kepada konteks. Untunglah sesama orang timur dapat menangkap dengan mudah apa maksudnya. Di lain waktu akan muncul gagal paham bila berhadapan dengan budaya komunikasi konteks rendah.

Makin ke sini kita makin jarang mendengar orang berbicara konteks tinggi, karena pesan verbal yang lugas, eksplisit dan berterus terang sebagai ciri khas konteks rendah dianggap jauh lebih efektif dalam budaya pop.

Tapi efek negatif dari bicara konteks rendah dapat menjurus kepada ujaran kebencian (hate speech). Seperti juga konteks tinggi dapat memicu permusuhan bila digunakan sebagai sindiran tajam.

Dan saya menemukan paradoks di sini ketika kita mengaitkannya dengan eufemisme. Penghalusan diksi dalam majas eufemisme melebur dalam konteks tinggi dan rendah sekaligus, ditingkahi oleh metafora, personifikasi, alegori retoris, dan idiom-idiom justru dapat menegaskan kelas sebuah bangsa.

Tinjau: Dilema Kehilangan Budaya Konteks Tinggi

Bagaimana bila konteks tinggi bergabung dengan eufemisme? Audiens atau lawan bicara yang tidak terbiasa akan menerima 2 tugas yakni menerjemahkan maksud tersirat dan pada saat bersamaan mengembalikan penghalusan diksi dari eufemisme ke bentuk dasarnya.

Eufemisme adalah fenomena universal, hampir digunakan oleh semua bangsa di dunia untuk menghindari kesan frontal atau tabu. Eufemisme terkadang digunakan oleh penutur untuk membebaskan dirinya dari beban sosial atau rasa bersalah. 

Kata Mark Peters dalam jurnalnya di BBC, bahasa yang melingkar-lingkar (dalam konteks tinggi dan eufemisme) adalah musuh kejelasan. Eufemisme adalah hal terburuk bahkan menjadi patokan tentang capaian yang negatif. Bahasa eufemistis adalah musuh abadi dari setiap orang yang membutuhkan kejelasan.

Eufemisme berupa pemecatan untuk perusahaan yang gagal, dapat disulap menjadi perampingan perusahaan, dirumahkan, dan bahkan frasa yang kikuk seperti pengurangan jumlah staf yang berlebih. Saat perusahaan membungkus tindakan mereka dengan bahasa yang samar dan robotik, yang dikorbankan adalah kejelasan dan orang-orang.

Menurut Peters, daftar eufemisme untuk menggambarkan pemecatan pegawai sangat panjang bahkan dapat dibuat menjadi buku. Misal, para pekerja dapat dikurangi (attritioned), kelebihan sehingga harus dirampingkan (excessed), atau bahkan tidak dipekerjakan (decruited) sebagai si kembar jahat dari dipekerjakan (recruited). Bahasa Inggris bahkan memiliki 3.000 kata untuk menggantikan kata mabuk.

Novelis sarkastik George Orwell dan komedian George Carlin telah menyerang bahasa yang halus dan samar, termasuk ratapan klasik Carlin yang mengatakan bahwa shellshock (sakit saraf karena pertempuran) berubah menjadi battle fatigue (kelelahan akibat pertempuran) kemudian menjadi operational exhaustion sebelum akhirnya berubah menjadi kata yang sulit diucapkan: post-traumatic stress disorder.

screenshot-20190908-173014-5d74d9fa097f365e857614a2.png
screenshot-20190908-173014-5d74d9fa097f365e857614a2.png

Pemerintah kita secara historis, menggunakan kata penyesuaian tarif untuk kenaikan harga, atau reshuffle kabinet untuk pemecatan dan pengangkatan menteri. Keputusan dan diskresi yang aneh bisa disebut kebijakan atau program, utang negara disebut bantuan atau investasi.

Beberapa politisi dengan paksa memanfaatkan kata-kata koalisi dan rekonsiliasi untuk menyembunyikan tujuan lain seperti konspirasi atau persekongkolan tingkat elite. Konspirasi bisa dilihat dari gejala seperti deal-deal politik yang dibuat tanpa kepentingan rakyat hadir di sana.

Di kita, eufemisme bahkan kontraproduktif untuk tugas-tugas kritik sosial. Eufemisme terhadap, maaf (kata maaf yang paradoks) pelacur misalnya berubah menjadi wanita tuna susila (WTS), kemudian diperhalus menjadi pekerja seks komersial (PSK), dipermolek lagi menjadi kupu-kupu malam. Sementara germo dipanggil papi atau mami dan lelaki pezina tukang selingkuh disebut tamu dengan kode akses booking.

Demikian pula koruptor sebagai eufemisme dari pencuri uang rakyat, belakangan ada yang menggantinya menjadi pemakai rompi oren. Suap dan upeti bisa diganti jadi gratifikasi atau fee.

Gerombolan pemeras berdasi disebut orang dalam. Uang hasil penodongan oknum aparat di jalan raya disebut uang damai. Dan anehnya yang ditodong mengaku sebagai korban, padahal dia sebenarnya penyuap.

Bila kita rajin mengoleksi diksi-diksi eufemisme kita akan menemukan majas tersebut lebih banyak memihak kepada perbuatan jahat. Hal ini terus mendorong bangsa kita yang pemaaf dan malas melawan lupa ini kepada lingkaran permisif. Semakin halus pilihan kata untuk menyebut lelaku minor, semakin permisif reaksi yang dihasilkan.

Pada akhirnya eufemisme dan permisivisme menjadi kawan sejalan, dengan kata lain seseorang bisa saja menggunakan majas eufemisme agar publik bereaksi permisif atau mengizinkan hal itu terjadi, sementara para pendosa yang mendapat label eufemisme berada di zona nyaman, dan bertahan di zona itu.

Seseorang bisa tanpa beban menerima tudingan sebagai tukang hoaks (hoaxer) ketimbang penyebar fitnah dan berita bohong. Para buzzer yang diproduksi oleh intrik politik akan terus bangga menumpang pada istilah ini, bila kita tidak cepat-cepat memisahkan mereka sebagai buzzer yang meloncengkan hasutan dan tipu muslihat.

Pertanyaannya, haruskah kita terus menyanjung kehalusan bahasa sebagai tindakan permisif terselubung terhadap kejahatan, atau mulai mengetatkan standar moral untuk menghukum mereka secara verbal dengan mengembalikan julukan itu kepada bentuk aslinya? Paradoks ! ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun