Budiman mungkin sedang atau telah membaca buku Post Truth - Knowledge as A Power Game karya Steve Fuller. Buku ini di antaranya menyinggung soal kampanye Brexit dan Presiden AS. Kemudian, akar post kebenaran terletak jauh di dalam sejarah teori sosial dan politik Barat. Buku ini menjangkau kembali ke Plato, berkisar lintas teologi dan filsafat, dan berfokus pada tradisi Machiavellian dalam sosiologi klasik.
Budiman juga menyebut Fadli Zon mengungkap teori-teori yang terdapat dalam buku Teori Strukturisasi, yang ditulis Anthony Giddens. Sementara Fadli Zon, seorang peraih beasiswa dari AFS (American Field Service) San Antonio, Texas, mungkin pernah membaca buku arkais Amboinsch Kruid-Boek karya Georgius Everhardus Rumphius terbitan tahun 1747 dan Mekka karya Dr. C. Snouck Hurgonje terbitan tahun 1889 yang mejeng di Fadli Zon Library miliknya, namun hampir setiap kata-katanya terpaksa harus mengutip buku Paradoks Indonesia dan Indonesia Menang milik Prabowo Subianto. Hal ini menjadi masuk akal secara kebijakan politik oposisi.
Yang juga tak kalah menarik adalah Sujiwo Tedjo. Ia adalah seorang Budayawan yang bila kita meminjam silogisme -dalam premis minor- budayawan adalah juga seorang filosof. Bila Presiden Jancuker seorang filosof, maka ia menjadi kebalikan dari Rocky Gerung. Tidak menguasai sejarah filsafat, tapi mencetuskan filsafatnya sendiri.
Dalam beberapa kali tampil, ia pernah dua kali mengambil narasi tentang tabiat kolektif manusia dari buku Sapiens dan tentu saja sekuelnya Homo Deus karya YN Harari, seorang profesor ateis-humanisme yang menjadi dosen jurusan sejarah di Universitas Ibrani Yerusalem.
Dalam ILC minggu ini yang berjudul Benarkah Jokowi di Atas Angin? Saya tidak mencatat siapa saja narasumber yang tampil. Namun apapun yang mereka katakan sepanjang itu bukan ujaran kosong tanpa dasar, maka dasarnya adalah buku.
Dan buku - buku itu bisa saja Sosiologi Post Modernisme karya Scott Lash, Disruption-nya Rhenald Kasali, Etika Politik karangan Frans Magnis Suseno atau setumpuk buku Teori Ekonomi Makro, Ekonometrika, Neo Liberalisme, Teori Dunia Ketiga, Ekonomi Internasional dan seterusnya yang memenuhi kepala seorang Rizal Ramli.
Rizal Ramli yang sejak belia mengidolakan Albert Einstein, dalam menguraikan persoalan ekonomi bangsa, sepertinya tidak pernah cukup waktu untuk mengutip buku The Einstein Scrapbook dan Einstein - The Life and Times dari Ronald Clarck yang menjadi koleksi wajibnya.
Di era Unicorn dan segala paradoks milenial kini, dengan gawai pintar yang merampas detik demi detik kita dari seharusnya membaca buku seperti mereka, adakah seseorang yang kemudian bisa menebak buku apa yang sudah kita baca. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H