Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Stop Demokrasi Langsung, Serahkan pada Aristos

27 Januari 2019   08:50 Diperbarui: 28 Januari 2019   07:34 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita harus memulainya dengan kesadaran penuh bahwa bangsa ini secara orang per orang belum mampu menemukan presiden terbaik mereka di samping ketidakdewasaan lembaga politik yang ada.

Pemilihan presiden melalui anggota DPR hanya bisa dilakukan secara bermartabat, bila partai politik yang memproduksi para wakil rakyat dapat menunjukkan ketinggian moral dan kerja keras mereka dalam sistem rekruitmen calon anggota legislatif. Bila perlu gunakan waktu lima tahun ke depan -siapapun presidennya- untuk melakukan riset dan mengkader para anak bangsa terbaik sehingga mereka benar-benar layak mewakili rakyat Indonesia di Senayan.

Maka kemudian, siapapun yang mereka pilih sebagai Presiden Republik Indonesia adalah putra-putri bangsa terbaik, yang lulus serangkaian uji tingkat paripurna oleh para pakar. Bila ada tiga kandidat presiden, maka mereka adalah tiga orang yang terbaik tanpa perdebatan sesudahnya.

Pemilihan presiden melalui lembaga parlemen juga dapat menghindari degradasi dan pelecehan martabat para kandidat oleh kaum pembenci dan pemujaan membabi buta oleh kaum penyembah. Kewibawaan seorang kepala negara begitu terjaga dari aura jahat yang bertiup dari segala arah.    

Untuk menjamin kualitas itu, seluruh anggota parlemen idealnya adalah oposisi. Karena tidak mungkin legislatif dapat menjalankan fungsinya bila mereka menjadi pembela eksekutif yang seharusnya mereka kontrol. Esensi parlemen adalah oposisi, silakan uji. Kekacauan akal sehat demokrasi dimulai dari munculnya kelompok aneh yang disebut: koalisi parlemen pro pemerintah. Dan itu tidak lebih dari akal-akalan untuk mengingkari Trias Politika.

Seperti tulisan saya sebelumnya, Plato tidak percaya kepada siapapun untuk menjadi pemimpin. Kecuali mereka datang dari filsuf yang sudah mencapai visi universal. Sementara Aristoteles sudah meramalkan demokrasi sebagai sesuatu yang ekstrem dan tidak akan berhasil.

Untuk itu ia menawarkan Politi (Polity) yakni campuran antara demokrasi dan oligarki (dua keekstreman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur ekstremnya akan saling membatalkan. Ini sebenarnya mirip aristokrasi yakni negara dikendalikan oleh para elite yang memenuhi kecerdasan dan akal budi tertinggi (Aristos) dari keseluruhan yang ada.

Bila suatu masa nanti anggota parlemen berada dalam performa terbaik mereka, maka biarkan para Aristos ini yang mengurus Negara. Mereka adalah wakil yang kita percaya dan kita pilih tanpa ragu melalui pemilu legislatif, dengan catatan seluruh caleg adalah manusia-manusia terbaik rekomendasi partai yang selama ini malas untuk itu.

Sejauh ini, kita terlalu tidak siap untuk ikut campur dalam demokrasi di tingkat presiden, karena hanya didominasi mental penyembah dengan ketidakmampuan untuk menghindari segala keburukan untuk merebut elektabilitas dari masing-masing kubu. Kecuali kita memang kerumunan penikmat kekacauan dengan biaya Rp 24 triliun. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun