Kita harus memulainya dengan kesadaran penuh bahwa bangsa ini secara orang per orang belum mampu menemukan presiden terbaik mereka di samping ketidakdewasaan lembaga politik yang ada.
Pemilihan presiden melalui anggota DPR hanya bisa dilakukan secara bermartabat, bila partai politik yang memproduksi para wakil rakyat dapat menunjukkan ketinggian moral dan kerja keras mereka dalam sistem rekruitmen calon anggota legislatif. Bila perlu gunakan waktu lima tahun ke depan -siapapun presidennya- untuk melakukan riset dan mengkader para anak bangsa terbaik sehingga mereka benar-benar layak mewakili rakyat Indonesia di Senayan.
Maka kemudian, siapapun yang mereka pilih sebagai Presiden Republik Indonesia adalah putra-putri bangsa terbaik, yang lulus serangkaian uji tingkat paripurna oleh para pakar. Bila ada tiga kandidat presiden, maka mereka adalah tiga orang yang terbaik tanpa perdebatan sesudahnya.
Pemilihan presiden melalui lembaga parlemen juga dapat menghindari degradasi dan pelecehan martabat para kandidat oleh kaum pembenci dan pemujaan membabi buta oleh kaum penyembah. Kewibawaan seorang kepala negara begitu terjaga dari aura jahat yang bertiup dari segala arah. Â Â
Untuk menjamin kualitas itu, seluruh anggota parlemen idealnya adalah oposisi. Karena tidak mungkin legislatif dapat menjalankan fungsinya bila mereka menjadi pembela eksekutif yang seharusnya mereka kontrol. Esensi parlemen adalah oposisi, silakan uji. Kekacauan akal sehat demokrasi dimulai dari munculnya kelompok aneh yang disebut: koalisi parlemen pro pemerintah. Dan itu tidak lebih dari akal-akalan untuk mengingkari Trias Politika.
Seperti tulisan saya sebelumnya, Plato tidak percaya kepada siapapun untuk menjadi pemimpin. Kecuali mereka datang dari filsuf yang sudah mencapai visi universal. Sementara Aristoteles sudah meramalkan demokrasi sebagai sesuatu yang ekstrem dan tidak akan berhasil.
Untuk itu ia menawarkan Politi (Polity) yakni campuran antara demokrasi dan oligarki (dua keekstreman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur ekstremnya akan saling membatalkan. Ini sebenarnya mirip aristokrasi yakni negara dikendalikan oleh para elite yang memenuhi kecerdasan dan akal budi tertinggi (Aristos) dari keseluruhan yang ada.
Bila suatu masa nanti anggota parlemen berada dalam performa terbaik mereka, maka biarkan para Aristos ini yang mengurus Negara. Mereka adalah wakil yang kita percaya dan kita pilih tanpa ragu melalui pemilu legislatif, dengan catatan seluruh caleg adalah manusia-manusia terbaik rekomendasi partai yang selama ini malas untuk itu.
Sejauh ini, kita terlalu tidak siap untuk ikut campur dalam demokrasi di tingkat presiden, karena hanya didominasi mental penyembah dengan ketidakmampuan untuk menghindari segala keburukan untuk merebut elektabilitas dari masing-masing kubu. Kecuali kita memang kerumunan penikmat kekacauan dengan biaya Rp 24 triliun. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H