Yang tidak sempat saya katakan pada seminar tersebut adalah: kebebasan yang didambakan banyak orang ternyata bukanlah anugerah, tapi justru kutukan, terutama ketika manusia sampai kepada pilihan-pilihan yang sulit dan harus menanggung risiko atas pilihan-pilihan yang salah.
Tepat, manusia bebas untuk membunuh. Tapi seorang pembunuh yang sedang dihadapkan kepada kursi listrik akan mulai mempertanyakan kutukan kebebasan itu, mengapa Tuhan tidak menegahnya, atau menghapus opsi membunuh dari muka bumi.
Yang kedua soal Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kutipannya: Barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya. Goethe adalah seorang filosof dan sastrawan Jerman di abad Romantisme Eropa.
Dia pernah menulis novel berjudul The Sorrows of Young Werther. Akibat novel ini 2000-an pemuda Eropa bunuh diri melalui cara dan pakaian yang sama dengan pemuda Werther dalam novel itu. Hanya gegara putus cinta, Werther lalu menembak kepalanya sendiri.
Saya belum menemukan apakah ada kaitannya, namun fenomena novel Goethe memberi pembenaran kepada aliran filsafat eksistensialisme. Bahwa manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri, sebelum esensinya dimunculkan. Ribuan pemuda yang bunuh diri tersebut sedang meniru esensi pemuda Werther yang diciptakan oleh Goethe.
Jean Paul Sartre (1905-1980) mengklaim, salah satu konsep sentral eksistensialisme yakni eksistensi mendahului esensi. Yang berarti pertimbangan terpenting bagi seorang individual bahwa mereka adalah entitas yang bersikap, bertindak secara independen, dan sadar (eksistensi) bukan atas label, peran, stereotipe, definisi, atau kategori lainnya (esensi). Manusia memiliki kehendak bebas, yang tidak dikendalikan oleh esensi yang datang dari luar.
Terakhir adalah soal mitos yang ditolak mentah-mentah oleh kaum saintis. Mereka tidak bisa begitu saja membuang mitos ke dalam tong sampah peradaban, karena hampir seluruh keseharian mereka dirangkumi oleh mitos-mitos mulai dari sistem mata uang, konsep negara, logo-logo, bendera, demokrasi, nasionalisme, toga, pesta-pesta ekstravaganza, nomor-nomor cantik, nama-nama bulan dalam kalender, nama-nama pesawat penjelajah, bahkan nama-nama mereka sendiri. Seorang profesor materialisme bersin-bersin, ia mengaku terserang influenza. Influenze berasal dari influence yang berarti pengaruh, dari mitos adanya pengaruh para dewa jahat yang membuat manusia sakit. ~MNT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI