Sebelum Gutenberg mengumumkan penemuan mesin cetaknya, harga buku menjadi sangat mahal. Bahkan ada yang menyamai sebuah mobil Roll Royce. Menjadi tak mengapa, ada yang tidak keberatan membelinya karena mereka sangat menginginkan itu, di tengah desakan kebutuhan bahan bacaan yang begitu memuncak ketika itu.
Dalam ensiklopedia Gutenberg and Mainz, Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg (sekitar 1398 - 3 Februari 1468) adalah seorang pandai logam dan penemu berkebangsaan Jerman yang memperoleh ketenaran berkat sumbangannya di bidang teknologi percetakan pada tahun 1450-an.
Karya pertamanya  yang dihasilkan dari mesin cetak itu tidak serta merta menyulap harga buku turun drastis. Adalah dua ratus jilid salinan Bible Gutenberg, sebagian kecilnya lebih kurang 50 dicetak di atas kulit lembu muda terjual di Pameran Buku Frankfurt pada tahun 1456 dengan harga per bijinya menyamai tiga tahun gaji seorang kuli biasa.
Gairah akan buku tidak menyebabkan timbul pertanyaan serius soal harga yang harus dibayar, jika dibandingkan dengan sekarang, buku makin melimpah dan jauh lebih murah, namun sepi peminat. Di banding rasio jumlah penduduk Indonesia misalnya, penikmat buku tidak pernah melebihi 10 persen.
Sedikit kilas balik romantisme buku di dunia yang bermula di Eropa. Kunci besar renaisans itu adalah perburuan pemikiran canggih zaman klasik secara massif di seluruh perpustakaan Eropa oleh pemikir pratama mereka yakni Petrach, Brraciolini, Salutati, Niccoli dan Medici.
Renaisans menjadi gerakan massal penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan manusia Eropa yang tadinya sangat bodoh dan miskin menjadi paham filosofi, bagaimana alam bekerja, merakit senjata api dan membangun kapal - kapal yang mengarungi samudera. Padahal sebelum pencerahan tiba, para ilmuan dikejar tunggang langgang dengan tuduhan menyiarkan sihir.
Kebangkitan Eropa bermula dari Italia, kota Florence. Kontak mereka dengan peradaban Islam di Andalusia dan Byzantium menghasilkan ikatan dagang yang membuat Florence sangat makmur. Penguasanya ketika itu, keluarga klan Medici melakukan dobrakan untuk kota dan warganya yang kemudian memicu kebangkitan seluruh Eropa. Mereka memasuki musim ilmu -dan tidak ada lagi musim lain setelah itu- untuk menyerap seluruh kecerdasan dari apalagi kalau bukan buku dan perpustakaan.
Sayangnya zaman keajaiban dari keserentakan revolusi pemikiran itu tak menyentuh khatulistiwa kita, padahal pengaruh pemikir-pemikir Islam seperti Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicenna), Al Ghazali, Ibnu Khaldun dan seterusnya, yang membuat Eropa terbangun seharusnya juga sampai ke tanah air.
Entah apa yang terjadi dengan negeri ini, baik silam hingga kontemporer, langkanya kecintaan akan ilmu menjadi alasan pembenaran sehingga kita lumat di bawah koloni Eropa. Bahkan itu tidak membuat kita segera tersadar, tingkat literasi umat Indonesia selalu berada di urutan terbawah, terkunci bersama negara-negara tertinggal di Afrika.
Hingga muncul keajaiban dari gawai pintar. Tiba-tiba minat baca masyarakat Indonesia meledak. Dari kanak hingga usia produktif wajahnya tertekuk ke layar untuk membaca sesuatu. Sayangnya bukan buku elektronik atau ebook, atau artikel-artikel bermutu dari website atau blog, tapi hanya status pertemanan atau cuitan.
Tepat ketika Web mulai berubah menjadi platform untuk berkontribusi dan berkolaborasi, Mark Zuckerberg masuk Havard University. Beberapa pekan setelah lulus ujian tentang Kaisar Agustus di Roma, Zuckerberg  meluncurkan Facebook dari asrama mahasiswanya, Februari 2004.
Ia pindah ke California pada musim panas itu, niatnya semula akan kembali ke Harvard untuk menuntaskan studinya pada ilmu komputer, tapi ternyata ia berhenti kuliah untuk menjadi CEO penuh waktu Facebook, jejaring sosial yang sejak awal dikenal tampil beda untuk sesama teman. Karena ia telah berbeda dengan MySpace misalnya, tempat kita terhubung dengan komunitas sesama anonim dan menyebut diri sebagai Mooselips atau Cyberchic.Â
Di belakang Facebook ada Twitter sebagai jejaring sosial dan mikroblog daring yang memungkinkan penggunanya untuk berkicau dalam batas 140 karakter. Lagi - lagi tercipta dari tangan dingin seorang mahasiswa, Jack Dorsey, Maret 2006 sebelum berada di bawah kendali Zuckerberg.
Ia terinspirasi oleh Flickr dan kode singkat SMS Amerika yang jumlahnya lima digit. Gagasan awal Twitter lebih sederhana lagi. "Kami memilih kata 'twitter', dan itu sempurna. Defenisinya adalah ledakan singkat informasi tidak penting, dan celotehan burung. Dan seperti itulah tepatnya produk ini," kata Dorsey.
Yang paling bungsu dan paling unyu -setidaknya- dialah si Instagram. Lahir untuk dipersembahkan kepada jemaah Narcissistic yang mengejar kepuasan dari kekaguman ego agar foto dan videonya dipampangkan ke tengah dunia. Lahir dari rahim perusahaan digital bernama Burbn, Inc, Oktober 2010, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Zuckerberg.
Gutenberg dan Zuckerberg sama-sama membawa pengaruh kebudayaan terhebat di dunia, tapi lihatlah perbedaannya di kita. Gutenberg membuka abad pencerahan pemikiran karena pelipatgandaan buku-buku sehingga dapat dijangkau penuh minat.
Tapi Zuckerberg tanpa sengaja, telah menarik jutaan kaum milenial Indonesia yang secara generasi ke generasi sudah jauh dari buku, menjadi semakin jauh. Lalu memulai secara serius pencarian bahan bacaan ringan khas sosial media, bahkan ikut tenggelam dalam badai kekusutan pikiran yang mereka sebut pesta demokrasi. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H