Tepat ketika Web mulai berubah menjadi platform untuk berkontribusi dan berkolaborasi, Mark Zuckerberg masuk Havard University. Beberapa pekan setelah lulus ujian tentang Kaisar Agustus di Roma, Zuckerberg  meluncurkan Facebook dari asrama mahasiswanya, Februari 2004.
Ia pindah ke California pada musim panas itu, niatnya semula akan kembali ke Harvard untuk menuntaskan studinya pada ilmu komputer, tapi ternyata ia berhenti kuliah untuk menjadi CEO penuh waktu Facebook, jejaring sosial yang sejak awal dikenal tampil beda untuk sesama teman. Karena ia telah berbeda dengan MySpace misalnya, tempat kita terhubung dengan komunitas sesama anonim dan menyebut diri sebagai Mooselips atau Cyberchic.Â
Di belakang Facebook ada Twitter sebagai jejaring sosial dan mikroblog daring yang memungkinkan penggunanya untuk berkicau dalam batas 140 karakter. Lagi - lagi tercipta dari tangan dingin seorang mahasiswa, Jack Dorsey, Maret 2006 sebelum berada di bawah kendali Zuckerberg.
Ia terinspirasi oleh Flickr dan kode singkat SMS Amerika yang jumlahnya lima digit. Gagasan awal Twitter lebih sederhana lagi. "Kami memilih kata 'twitter', dan itu sempurna. Defenisinya adalah ledakan singkat informasi tidak penting, dan celotehan burung. Dan seperti itulah tepatnya produk ini," kata Dorsey.
Yang paling bungsu dan paling unyu -setidaknya- dialah si Instagram. Lahir untuk dipersembahkan kepada jemaah Narcissistic yang mengejar kepuasan dari kekaguman ego agar foto dan videonya dipampangkan ke tengah dunia. Lahir dari rahim perusahaan digital bernama Burbn, Inc, Oktober 2010, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Zuckerberg.
Gutenberg dan Zuckerberg sama-sama membawa pengaruh kebudayaan terhebat di dunia, tapi lihatlah perbedaannya di kita. Gutenberg membuka abad pencerahan pemikiran karena pelipatgandaan buku-buku sehingga dapat dijangkau penuh minat.
Tapi Zuckerberg tanpa sengaja, telah menarik jutaan kaum milenial Indonesia yang secara generasi ke generasi sudah jauh dari buku, menjadi semakin jauh. Lalu memulai secara serius pencarian bahan bacaan ringan khas sosial media, bahkan ikut tenggelam dalam badai kekusutan pikiran yang mereka sebut pesta demokrasi. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H