Paradoks lainnya dan yang paling kontroversial adalah Omnipotence Paradox (Paradoks Kemahakuasaan). Paradoks ini kerap digunakan oleh para ateis untuk menyatakan pembangkangannya terhadap keberadaan Tuhan. Berbunyi:Â
"Tuhan itu Maha Kuasa dan Ia bisa melakukan apa saja. Pertanyaannya, bisakah Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan batu yang sangat berat yang sampai Tuhan sendiri pun tidak bisa mengangkatnya?"
Terdapat dua premis penting dalam paradoks ini. Pertama, apakah Tuhan bisa menciptakan batu tersebut? Karena Tuhan Maha Kuasa maka tentu saja bisa.
Premis kedua, tapi bila Tuhan menciptakan batu tersebut dan tidak bisa mengangkatnya justru akan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dilakukan Tuhan sekaligus mematahkan premis pertama.
Paradoks ini jawabannya tidak akan bisa ditemukan dalam logika kita. Karena Tuhan sendiri ada di luar jangkauan logika manusia.
Dalam kondisi faktual kita menemukan paradoks pada penarikan pajak oleh negara. Sebut saja Paradoks Pajak. Negara secara ideal bertugas untuk kesejahteraan publik. Namun di waktu bersamaan negara menarik pajak dari rakyat.Â
Penarikan pajak itu berakibat kepada menurunnya kesejahteraan. Namun sebaliknya jika negara tidak menarik pajak, maka negara tidak bisa menjalankan fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Sedangkan untuk menjalankan fungsinya menyejahterakan rakyat, negara harus menarik pajak.
Paradoks ini akan terjawab bila tercipta suatu kondisi bahwa pajak yang ditarik dikembalikan ke rakyat dalam bentuk yang lain, sehingga kesejahteraan yang berkurang akibat penarikan pajak segera tergantikan.
Namun apakah kondisinya akan seperti itu, bila kemudian yang dikembalikan kepada rakyat berupa pembangunan fasilitas publik dan pelayanan masyarakat ternyata dibiayai dari pos yang lain seperti utang dan pendapatan non pajak. Sedangkan pajak yang ditarik tidak cukup atau habis digunakan untuk membiayai dirinya sendiri, sebagai misal.
Sementara program yang kontradiktif dengan kesejahteraan publik seperti penghapusan subsidi dan intensifikasi-ekstensifikasi pajak, dan sejumlah kenaikan tarif, makin digencarkan oleh negara ketika ia harus melakukan hal yang sebaliknya.
Dalam kondisi seperti ini, Pinokio tak perlu membuat paradoks apakah hidungnya akan memanjang, jika sekadar memunculkan kegempaan dalam pikiran publik yang kritis.