Manusia primitif menjalankan hidupnya dengan narasi mitos. Lalu datanglah filsafat untuk mendebat mitologi yang dimulai oleh Thales. Filsuf mulanya tidak membabat habis mitos itu, namun menyisakan sedikit untuk ruang keyakinan. Tapi begitu ilmu pengetahuan datang, ia langsung mengatur jarak sejauh-jauhnya dengan mitos, bahkan sampai ke ujung tapal batas, mereka membabat habis dogma.
Manusia yang terlalu memuja pengetahuan, akan sampai kepada eksistensialis-atheisme, untuk menancapkan bendera sains di atas segalanya. Dogma logos atau firman Tuhan dijadikan sebagai bagian dari mitos belaka. Beberapa filsuf yang mendampingi cara berpikir ini di antaranya Thomas Hobbes dan Karl Marx dengan Atheis-Materialisme lalu Friedrich Nietzsche dengan Ateistik Eksistensialisme-nya.
Semisal gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, ilmuwan geoscientist akan punya argumentasi ilmiah terhadap sebab-sebab bencana itu, tapi para tradisionalis mengembangkan narasi-narasi mitos dan secara dogma atau logos pula, akan ada penjelasan tersendiri yang dikaitkan dengan ujian dan murka Tuhan atas dosa manusia.
Ketiga sudut pandang ini tidak dapat disatukan sampai kapanpun, kecuali bila kita menggunakan cara kerja filsafat. Namun tidak semua filsuf sampai ke taraf kedewasaannya. Seperti dinyatakan oleh DR Stephen Palmquist dalam The Tree of Philosophy, hanya Immanuel Kant yang memiliki kedewasaan penuh di antara pesatnya aliran-aliran filsafat Barat yang umumnya egosentris.
Kant berdiri di antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles dengan menyetujui bahwa manusia berada dalam pergerakan antara pengetahuan yang nirmustahil dengan kebebalan niscaya. Kant mencetuskan filsafat analitik yang menjadi penyeberang dari filsafat eksistensial yang pada puncak tertentu mereka menjadi sangat sombong dengan eksistensi keilmuannya.
Bila ilmuan sudah melalaikan logos -sebagai hasil dari kerja sembrono untuk memisahkan fakta dengan imaji- maka sebenarnya ia sedang berada dalam keterasingan modern.Â
Kant ingin agar ada keseimbangan antara transendental (di luar akal) dengan empiris (yang nyata). Sehingga inilah intisari filsafat yang merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan manusia. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat ketakjuban seperti taburan gagasan filosofis dalam  Alice in Wonderland.
Palmquist menyebut, sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri.Â
Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang -karena ingin istilah yang lebih baik- bisa kita sebut super-sadar (super-conscious).
Dari penjelasan Palmquist, kita dapat menyimpulkan sebenarnya dalam diri manusia sudah ada cara-cara kerja filsafat tanpa perlu kita bersusah-susah untuk melepaskannya dan memindahkan beban tugas penyelidikan kesadaran kepada filsuf semata. Langkah yang dilakukan adalah menggunakan metafisika.
Metafisika adalah pisau bedah filsuf untuk menuntaskan tugas-tugas filsafatnya. Memang agak terlalu menyepelekan kerumitan metafisis tersebut bila menggunakan pisau bedah ini untuk sembarang awam, namun metodologinya bisa ditarik ke ruang publik agar kita tidak sembrono dalam melihat fenomena.
Definisi metafisika menurut The Stanford Encyclopedia of Philosophy adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya.Â
Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antarkeberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya.
Di era post-modernis nan milenial serba ilmu macam sekarang, ketika semua fenomena jagat raya bisa dipantau di layar gawai masing-masing, metode metafisika dapat kita adaptasi guna mencegah ketergesa-gesaan yang tanpa melewati sedikitpun pemeriksaan. Metafisika mampu melakukan hal-hal yang tidak disanggupi dijangkau atau malah ditepis oleh ilmu pengetahuan.
Fenomena ruang maya kita di tahun politik ini ibarat dua bidang besar ruang gema (echo chamber) yang diametral. Masing-masing penghuni dalam ruang itu memiliki kertarikan dan minat yang sama atas rasa senasib sepenanggungan dalam politik 2019. Siapa kita ini, ilmuan tidak, filsuf apalagi? Maka yang muncul hanyalah kebisingan yang disponsori oleh politik kotor.
Satu ketukan bunyi -misalnya status pada facebook atau cuitan twitter- berita penganiayaan Ratna Sarumpaet dengan sangat cepat menelusup di antara dua ruang gema untuk memperbanyak diri dan bersahut-sahutan dalam bilangan detik. Hampir tidak ada berita sensasional yang melalui proses pengendapan perenungan yang menyentuh metodologi metafisika.
Lalu ketika Ratna membuat pengakuan dosa, ruang gema makin sembrono membangun premis-premis permukaan, centang prenang dan sangat tendensius berdasarkan kemana arah politik mereka kelak.
Ratna seperti membuka kotak pandora, di mana semua keburukan melompat dari kotak itu untuk menjangkiti orang-orang. Ketika dua kubu dihadirkan di layar kaca untuk berdialog, tidak ditemukan sintesis kecuali cerita-cerita ringan yang dibatasi durasi.
Ruang gema yang kekanak-kanakan di sosial media hanya dapat diendapkan dengan cara filsafat metafisika. Hal ini bertujuan untuk menyentuh hakikat realitas terdalam (ultimate reality). Kita harus mulai rajin memeriksa diri dan fenomena di luar kita agar ruang maya tidak menjadi tong sampah, atau kita sudah mulai menjadi sampah itu sendiri. Seperti kata Sokrates, kehidupan yang tidak terperiksa bukanlah kehidupan yang berharga. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H