Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilpres dan Jembatan Omong Kosong Senilai Triliunan Rupiah

18 Agustus 2018   13:47 Diperbarui: 22 Oktober 2018   08:12 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politisi kemudian membuatnya menjadi rumit, hampir kacau balau. Ongkos mahal demokrasi menjadi fait accompli, sebagai satu-satunya jalan. Padahal,  mengutip James Harvey Robinson, sejarawan, The Human Comedy, 1937:  kampanye politik dirancang untuk pesta pora emosional yang berusaha menarik perhatian dari isu-isu riil, dan mereka sebenarnya melumpuhkan akal dengan kekuatan upacara remeh temeh yang dapat secara normal diupayakan manusia.

Harus dikatakan, bila kita menenggelamkan diri terlalu menghujam ke dalam helat demokrasi yang tidak esensial macam begini, sebenarnya kita sedang menciptakan kemalangan kepada diri sendiri. Secara, tanpa menghabiskan ratusan triliun untuk satu putaran saja (belum menghitung emosi, energi, waktu dan teman yang hilang), pemenuhan kebutuhan elementer masyarakat tidak jauh berkisar kepada hal-hal yang bisa dipikirkan anak SMA.

Kemalangan itu seperti tentang jembatan dan sungai, dan sarana serta upaya-upaya untuk mengatakannya disertai sorak sorai yang menggelikan senilai ratusan triliun. Setelah itu semua padam, arang habis besi binasa. Kita kembali bertungkus lumus untuk mencukupi diri masing-masing: tidak bekerja tidak makan, tidak ada beras gratis dari istana (menyinggung utopia-welfare state). Untuk mengatakan bahwa pilpres bukanlah segalanya.

Tapi tidak bijak pula, bila kita menuding politik sebagai hanya pesakitan. Paling tidak dana besar dari pesta demokrasi mengalir sampai jauh kepada para penerima mahar (usah kaget, sudah menjadi kultur politik kita sejak lama), pekerja politik dan pedagang musiman. Juga dari logistik kampanye, media pencitraan, petugas-petugas, hingga kepada para buzzer sosmed yang dilengkapi tentara robot, Cebong dan Kampret penuh waktu.

Politik yang benar akan menuju jalan kebenarannya sendiri. Politik yang tulus akan bermanfaat bagi semesta, melebihi ego diri dan kelompok. Seperti kata tokoh media AS, Bill Moyers, ide-ide adalah anak-anak panah yang hebat, tapi harus ada sebuah busur. Dan politik adalah busur idealisme. 

Ini dikatakan, agar kita tidak terlihat sekonyong-konyong hanya membuat ritual musiman: membakar gunungan uang demi mendudukkan seorang presiden, tanpa esensi yang jelas. Proses demokrasi yang selalu mahal itu belum kelihatan ujung pangkalnya, yang jelas negara sudah makin bangkrut dibuatnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun