Politisi kemudian membuatnya menjadi rumit, hampir kacau balau. Ongkos mahal demokrasi menjadi fait accompli, sebagai satu-satunya jalan. Padahal, Â mengutip James Harvey Robinson, sejarawan, The Human Comedy, 1937: Â kampanye politik dirancang untuk pesta pora emosional yang berusaha menarik perhatian dari isu-isu riil, dan mereka sebenarnya melumpuhkan akal dengan kekuatan upacara remeh temeh yang dapat secara normal diupayakan manusia.
Harus dikatakan, bila kita menenggelamkan diri terlalu menghujam ke dalam helat demokrasi yang tidak esensial macam begini, sebenarnya kita sedang menciptakan kemalangan kepada diri sendiri. Secara, tanpa menghabiskan ratusan triliun untuk satu putaran saja (belum menghitung emosi, energi, waktu dan teman yang hilang), pemenuhan kebutuhan elementer masyarakat tidak jauh berkisar kepada hal-hal yang bisa dipikirkan anak SMA.
Kemalangan itu seperti tentang jembatan dan sungai, dan sarana serta upaya-upaya untuk mengatakannya disertai sorak sorai yang menggelikan senilai ratusan triliun. Setelah itu semua padam, arang habis besi binasa. Kita kembali bertungkus lumus untuk mencukupi diri masing-masing: tidak bekerja tidak makan, tidak ada beras gratis dari istana (menyinggung utopia-welfare state). Untuk mengatakan bahwa pilpres bukanlah segalanya.
Tapi tidak bijak pula, bila kita menuding politik sebagai hanya pesakitan. Paling tidak dana besar dari pesta demokrasi mengalir sampai jauh kepada para penerima mahar (usah kaget, sudah menjadi kultur politik kita sejak lama), pekerja politik dan pedagang musiman. Juga dari logistik kampanye, media pencitraan, petugas-petugas, hingga kepada para buzzer sosmed yang dilengkapi tentara robot, Cebong dan Kampret penuh waktu.
Politik yang benar akan menuju jalan kebenarannya sendiri. Politik yang tulus akan bermanfaat bagi semesta, melebihi ego diri dan kelompok. Seperti kata tokoh media AS, Bill Moyers, ide-ide adalah anak-anak panah yang hebat, tapi harus ada sebuah busur. Dan politik adalah busur idealisme.Â
Ini dikatakan, agar kita tidak terlihat sekonyong-konyong hanya membuat ritual musiman: membakar gunungan uang demi mendudukkan seorang presiden, tanpa esensi yang jelas. Proses demokrasi yang selalu mahal itu belum kelihatan ujung pangkalnya, yang jelas negara sudah makin bangkrut dibuatnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H