Kata Charles de Gaulle, politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya. Kata Nikita Khrushchev pula, politisi itu semuanya sama: mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana.
Miris bila, Tuan Politisi benar-benar kecoplosan menjanjikan jembatan di savana tandus yang tak bersungai. Tapi rakyat yang sudah terlanjur cinta buta -para pemuja kultus individu- bertungkus lumus membangun sungai itu, biar Tuan Politisi tidak cacat janji nantinya. Kita tinggal geleng-geleng kepala untuk dua tumpukan besar uang yang hangus demi sungai dan jembatan yang tidak perlu.
Kerumunan politisi pulalah yang telah menjungkirkan putra-putri terbaik bangsa dari seharusnya mereka menjadi presiden atau bupati. Tanya kenapa?
Saul Bellow, wartawan dan kritikus budaya AS berucap, lihatlah politisi kita: mereka adalah sekumpulan yoyo. Berebut posisi presiden adalah satu persilangan antara kontes popularitas dan debat anak SMA, dengan ensiklopedi yang terutama berisi kata-kata klise.
Jalan demokrasi yang kita tempuh harus ditebus dengan pengorbanan sejak ia bermula di kota Apella, Sparta pada 700 SM. Politik pencitraan itu sangat mahal harganya. Belum ketika musim kampanye tiba. Ongkos untuk berdiri di podium dibayar negara lewat pajak rakyat, belum lagi yang ditanggung sendiri atau kelompok. Jumlahnya bisa puluhan triliun.
Dari riset yang dilakukan Kontan, sejak 2014 hingga 2019 mendatang, pemerintah telah dan akan mengeluarkan uang senilai Rp 65,45 triliun dalam sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi. Â Uang sebesar itu bisa untuk membangun 570 kilometer jalan tol, 9.735 kilometer jalan dengan lebar enam meter, sementara jarak Sabang ke Merauke saja hanya 8,400 kilometer, ditambah bisa membangun 100 unit gedung pencakar langit setinggi 35 lantai.
Jika termasuk menghitung berapa dana yang dikeruk dari kocek pribadi, ada yang menyebut untuk satu pasangan capres per putarannya bisa menembus Rp 7 triliun, Muhaimin Iskandar saja mengaku keluar dari bursa wapres begitu mendengar angka Rp 4,5 triliun. Jumlah ini semakin menggunung bila diakumulasikan dengan biaya pribadi dalam pileg dan pilkada.
Contoh, dalam pilgub musim lalu, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.
Singkat kata, Indonesia butuh ratusan triliun untuk menempatkan orang-orang politik ke atas singgasana masing-masing. Belum termasuk -ketika memerintah kelak- akankah mereka membangun jembatan omong kosong atau akan hanya sibuk mengembalikan duit cukong kampanye dengan kebijakan yang mencederai rakyat?
Dengar kata Oscar Ameringer, politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain. Dengan kata lain, kepada orang kaya mereka berjanji untuk menyingkirkan orang miskin yang terlihat seperti hama, lalu kepada orang-orang miskin, yang dijanjikan adalah upaya-upaya untuk menjinakkan kerakusan orang-orang kaya.
Bellow benar adanya, mereka hanyalah sedang melakukan kontes popularitas sebab kebutuhan rakyat sebenarnya dapat dijawab dengan debat setingkat anak SMA. Sebab kebutuhan elementer rakyat tidak jauh beranjak dari cukupnya sandang, pangan, papan, pendidikan dan masa depan, yang kemudian dibungkus oleh ideologi.
Politisi kemudian membuatnya menjadi rumit, hampir kacau balau. Ongkos mahal demokrasi menjadi fait accompli, sebagai satu-satunya jalan. Padahal, Â mengutip James Harvey Robinson, sejarawan, The Human Comedy, 1937: Â kampanye politik dirancang untuk pesta pora emosional yang berusaha menarik perhatian dari isu-isu riil, dan mereka sebenarnya melumpuhkan akal dengan kekuatan upacara remeh temeh yang dapat secara normal diupayakan manusia.
Harus dikatakan, bila kita menenggelamkan diri terlalu menghujam ke dalam helat demokrasi yang tidak esensial macam begini, sebenarnya kita sedang menciptakan kemalangan kepada diri sendiri. Secara, tanpa menghabiskan ratusan triliun untuk satu putaran saja (belum menghitung emosi, energi, waktu dan teman yang hilang), pemenuhan kebutuhan elementer masyarakat tidak jauh berkisar kepada hal-hal yang bisa dipikirkan anak SMA.
Kemalangan itu seperti tentang jembatan dan sungai, dan sarana serta upaya-upaya untuk mengatakannya disertai sorak sorai yang menggelikan senilai ratusan triliun. Setelah itu semua padam, arang habis besi binasa. Kita kembali bertungkus lumus untuk mencukupi diri masing-masing: tidak bekerja tidak makan, tidak ada beras gratis dari istana (menyinggung utopia-welfare state). Untuk mengatakan bahwa pilpres bukanlah segalanya.
Tapi tidak bijak pula, bila kita menuding politik sebagai hanya pesakitan. Paling tidak dana besar dari pesta demokrasi mengalir sampai jauh kepada para penerima mahar (usah kaget, sudah menjadi kultur politik kita sejak lama), pekerja politik dan pedagang musiman. Juga dari logistik kampanye, media pencitraan, petugas-petugas, hingga kepada para buzzer sosmed yang dilengkapi tentara robot, Cebong dan Kampret penuh waktu.
Politik yang benar akan menuju jalan kebenarannya sendiri. Politik yang tulus akan bermanfaat bagi semesta, melebihi ego diri dan kelompok. Seperti kata tokoh media AS, Bill Moyers, ide-ide adalah anak-anak panah yang hebat, tapi harus ada sebuah busur. Dan politik adalah busur idealisme.Â
Ini dikatakan, agar kita tidak terlihat sekonyong-konyong hanya membuat ritual musiman: membakar gunungan uang demi mendudukkan seorang presiden, tanpa esensi yang jelas. Proses demokrasi yang selalu mahal itu belum kelihatan ujung pangkalnya, yang jelas negara sudah makin bangkrut dibuatnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H