Apollo menghukum Marsias yang telah lancang menantangnya sebagai dewa. Apollo menggantung Marsias secara terbalik di sebuah pohon dan mengulitinya hidup-hidup sampai Marsias tak punya kulit dan mati.
Marsias adalah seorang satire yang menemukan alat musik bernama Aulos dan mulai memainkannya. Dalam waktu singkat, Marsias pun menjadi pesohor pemain Aulos terhebat. Dengan kelebihannya itu, ia berani menantang Apollo sebagai dewa musik.
Bukan soal apakah ia kalah atau menang, tapi soal dia telah berani menantang dewa dan kelancangan itu tidak termaafkan. Tidak ada dialektika tentang benar dan salah serta hukum kausalitas. Penentangan adalah sebuah kedurhakaan.
Nasib sama menimpa Thamiris, pemain alat musik bernama Lira. Lancang menantang para dewa Muse, maka ia dibutakan, pita suaranya dirusak hingga tak ada lagi nyanyian dan puisi. Nasib tragis ini pula yang menimpa Hang Jebat yang hidup pada abad ke-15 dengan keris Taming Sari di tangannya.
Jebat adalah benang kusut epos tanah Melayu yang merintih sendirian di ujung ajalnya. Tidak ada pembelaan untuk Jebat, garis tangannya seperti Marsias dan Thamiris, siapa yang berani berpikir di luar kotak? rakyat sudah terlalu lama bersimpuh di kaki sultan.
Padahal dulu kala, di pangkal sejarah imperium Melayu, Demang Lebar Daun sebagai representasi jelata telah mengikat perjanjian dengan Bapak Raja Melayu Sang Sapurba tentang adanya kesetaraan dan timbal balik, semacam equality before the law dalam Magna Charta.
Namun dalam lintasan kosmik zaman feodal apapun, kesetaraan itu tak pernah ada. Rakyat sudah terhegemoni sejak lahir hingga meninggal, bahkan hampir tidak berani sekadar berpikir untuk berpihak kepada patriotisme jalan sunyi yang dilewati Sang Rajuna Tapa, Jebat dan Megat Seri Rama: membalas raja-raja zalim.
Gaia yang marah karena anak-anaknya dikurung di Tartaros, menyuruh para raksasa untuk bangkit melawan para dewa Olimpus dan mengakhiri pemerintahan mereka.Â
Tapi siapakah yang disebut pahlawan, dia adalah Herakles yang berhasil menumpas para raksasa suruhan Gaia.Â
Gaia adalah personifikasi bumi dalam mitologi Yunani. Sejarah melupakan anak-anak Gaia yang dikurung untuk mengenang kepahlawanan Herakles.
Hang Tuah bahkan lupa bahwa dirinya lah yang dibela, sebab dialah Jebat jadi durhaka. Lupa bagaimana zalimnya Sultan Malaka kepadanya.Â
Kekasihnya Tun Teja direnggut, dan ia semena-mena dihukum bunuh hanya karena bisikan Karma Wijaya yang track record-nya tak elok. Tak setitikpun pengorbanannya dihargai sultan.
"Aku datang tidak untuk mempertengkarkan siapa membela dan siapa menitahkan, aku datang untuk menentukan, menghukum, yang diwakilkan padaku untuk baginda menamatkan hidupmu yang telah durhaka," inilah sabda Tuah sebelum menumpas Jebat.Â
Sejarah melupakan pembelaan tulus suci Jebat kepada sahabatnya itu untuk mengenang kepahlawan Tuah. Semesta seolah mengutuk Marsias dan ia pantas mati untuk lancang kepada Apollo.
Mitologi Tuah dan Jebat, adalah dialektika antara legalitas dan moralitas. Apa yang hendak didahulukan?Â
Mereka hidup di zaman daulat atau legalitas berada di puncak tertinggi. Maka moral akan selalu dikorbankan. Pejuang moral bahkan dianggap pendurhaka ketika mereka merusak daulat.
Dalam The Metaphysics of Moral (Metafisika Moralitas), Immanuel Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian.
Kesesuaian atau ketidaksesuaian yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek penilaian. Nilai-nilai moral itu baru ada apabila diperoleh dalam moralitas.
Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia.Â
Kant melihat moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna.Â
Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebaikan dalam arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara.
Dari pendapat Kant kita kemudian menemukan benang merah bahwa Jebat berada dalam ketidaksesuaian untuk meruntuhkan legalitas penguasa dengan alasan moral apapun. Sedangkan Tuah dijunjung tinggi berkat ia berada di dalam kesesuaian itu.
Lalu apakah tulisan ini berpretensi untuk memperuncing friksi Tuah-Jebat? Ketika Kant dan pejuang moralitas lainnya akan memihak Jebat. Mungkin Tuah sudah benar pada zamannya, tapi Jebat adalah manusia yang berani melampaui zaman itu.
Tuah adalah seorang yang idealis khas era feodalisme, dan Jebat adalah seorang pragmatis yang berkiblat kepada kebenaran. Kendati di masa itu Jebat dianggap menggunakan pragmatisme negatif (meminjam William Ernest Hocking), atas asas yang mengatakan bahwa apabila suatu ide tidak bekerja, maka tidak mungkin akan benar.
Konon dengan kedigdayaan keris Taming Sari yang jatuh ke tangannya, Jebat mengamuk seorang diri, mengusir Sultan Malaka Manshur Syah dan bala tentaranya. Ia mengosongkan istana dan menyisakan dayang-dayang untuk berpesta pora.
Ketika Tuah-yang sebenarnya tidak dibunuh tapi disembunyikan oleh Datok Bendahara-dipulihkan kembali jabatannya sebagai laksmana, maka logika kita sedikit terusik.Â
Tuah menyisakan teka teki apakah ia tega membunuh Jebat semata mengabdi demi sultan atau soal politik kekuasaan di lingkar istana.
Lalu siapakah reinkarnasi Tuah dan Jebat di orde milenial kini? Mulailah menebak-nebak, mencocok-cocokkan, dan menarik konklusi, apakah yang kini dominan untuk ditinggikan, legalitas kah atau moralitas?Â
Bukan pula tulisan ini untuk melaga antara legalitas dan moralitas, jika keduanya berada di dalam bingkai yang sama, maka itu adalah jalan menuju utopia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H