Dari pendapat Kant kita kemudian menemukan benang merah bahwa Jebat berada dalam ketidaksesuaian untuk meruntuhkan legalitas penguasa dengan alasan moral apapun. Sedangkan Tuah dijunjung tinggi berkat ia berada di dalam kesesuaian itu.
Lalu apakah tulisan ini berpretensi untuk memperuncing friksi Tuah-Jebat? Ketika Kant dan pejuang moralitas lainnya akan memihak Jebat. Mungkin Tuah sudah benar pada zamannya, tapi Jebat adalah manusia yang berani melampaui zaman itu.
Tuah adalah seorang yang idealis khas era feodalisme, dan Jebat adalah seorang pragmatis yang berkiblat kepada kebenaran. Kendati di masa itu Jebat dianggap menggunakan pragmatisme negatif (meminjam William Ernest Hocking), atas asas yang mengatakan bahwa apabila suatu ide tidak bekerja, maka tidak mungkin akan benar.
Konon dengan kedigdayaan keris Taming Sari yang jatuh ke tangannya, Jebat mengamuk seorang diri, mengusir Sultan Malaka Manshur Syah dan bala tentaranya. Ia mengosongkan istana dan menyisakan dayang-dayang untuk berpesta pora.
Ketika Tuah-yang sebenarnya tidak dibunuh tapi disembunyikan oleh Datok Bendahara-dipulihkan kembali jabatannya sebagai laksmana, maka logika kita sedikit terusik.Â
Tuah menyisakan teka teki apakah ia tega membunuh Jebat semata mengabdi demi sultan atau soal politik kekuasaan di lingkar istana.
Lalu siapakah reinkarnasi Tuah dan Jebat di orde milenial kini? Mulailah menebak-nebak, mencocok-cocokkan, dan menarik konklusi, apakah yang kini dominan untuk ditinggikan, legalitas kah atau moralitas?Â
Bukan pula tulisan ini untuk melaga antara legalitas dan moralitas, jika keduanya berada di dalam bingkai yang sama, maka itu adalah jalan menuju utopia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H