Berbagai peristiwa langka yang terjadi di dunia dengan ciri berdampak besar, sulit diprediksi dan di luar perkiraan biasa, telah dielaborasi ke dalam suatu teori yang disebut Angsa Hitam (Black Swan Theory).
Sesuatu bisa muncul secara mengejutkan, sangat berpengaruh dan setelah muncul, ia bisa dijelaskan secara peninjauan ke belakang.
Pengemuka Teori Angsa Hitam bernama Nassim Nicholas Taleb, berkebangsaan Lebanon Amerika. Ia adalah seorang pembuat esai, epistemolog, polimatematik dan peneliti yang fokus pada masalah keacakan, peluang, dan ketidakpastian. Semua itu tertuang dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2007, The Black Swan.
Menurut Taleb dalam bukunya, banyak penemuan ilmiah merupakan fenomena "angsa hitam" - terjadi dengan tidak disengaja dan tidak diramalkan, contohnya adalah kemunculan internet, Perang Dunia I, dan peristiwa 11 September 2001.Â
Taleb juga mengkritik metode pada manajemen risiko yang dipakai oleh industri keuangan, dan juga memperingatkan tentang krisis finansial global yang sekarang terjadi.
Black Swan adalah sebuah metafora yang dapat diterangkan dari kajian filsafat ilmu. Karl Raimund Poper menggunakan metafora itu untuk menjelaskan konsepsinya tentang falsifikasi. Di dunia ini, manusia cenderung percaya untuk mengatakan angsa putih adalah kebenaran.
Keguncangan pada kebenaran itu akan terjadi jika ada angsa hitam. Ajaibnya sesungguhnya ada angsa hitam itu di dunia seperti di Australia dan Pulau Tasmania. Penemuan itu bukan saja penting bagi ornitologist.Â
Menjadi penting bagi banyak orang untuk mempelajari bukan saja hal yang berulang atau pola umum. Angsa hitam adalah pola ekstrem dari kebenaran umum yang jarang dikaji. Ini ide besar buku ini.
Dalam laman goodreads.com yang me-review buku ini disebutkan, kita cenderung bangga dengan pengetahuan yang begitu banyak kita simpan sebagai naive empiricism. Tebaran "fakta" yang kita kunyah tanpa memperhatikan metarules (aturan yang mengatur aturan lainnya).Â
Istilah terakhir ini adalah menelan informasi tanpa memperhatikan ada aturan atau struktur yang membuat informasi itu terseleksi oleh otak.
Disebutkan, indera manusia sebenarnya selektif. Proses seleksi ini didasarkan pada seperangkat metarules yang biasa kita sebut dengan asumsi, teori atau apapun. Dalam kasus naive empiricism, aturan itu tidak kita sadari.
Taleb menyebut, perpustakaan bukan sekadar menunjukkan status sosial dan dari jumlah dan jenis koleksinya. Buku yang berharga bukanlah buku yang belum kita baca, tetapi buku yang sudah kita baca.Â
Di sana ada himpunan pengetahuan yang harus kita kaji lagi. Pengetahuan yang kita miliki pun berharga bukan sebagai sebuah aksesoris.Â
Tetapi sejauh mana kita berhasil menemukan iklan negatif atau semacam pesan propaganda, dari sekian yang sudah kita baca, "apa yang belum kita pahami?" Ini adalah bekal untuk mencari titik ekstrem pengetahuan, black swan dalam diri kita.
Penemuan bukanlah sebuah kajian perulangan tetapi mencari titik yang belum dijamah, black swan. Sehingga pola pembelajaran kita tidak terjebak secara naive (baca: naif) dalam pola pikir menoleh ke belakang dan keberulangan. Menoleh ke belakang dan keberulangan itu harus dikaji apakah sudah tepat metarules-nya?
Jika kita ingin menyederhanakan, teori Angsa Hitam mengajak kita untuk berpikir di luar kotak, tentang semua angsa pasti berwarna putih.Â
Bahwa di balik semua peristiwa yang berjalan beriringan dan sama, pasti ada satu hal yang memecah kesamaan itu.Â
Teori ini dapat memutus alur sebuah pemikiran atau logika yang mengambil konklusi berdasarkan hal-hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari - hari.
Dan kita harus bisa bersiap, bahwa angsa hitam akan muncul tiba-tiba di antara kerumunan angsa putih.Â
Ia bisa berupa peristiwa alam, ciri lain dari tanda - tanda kiamat, penemuan ilmiah di luar nalar, munculnya pemimpin di luar prediksi politik paling canggih sekalipun, hingga dengan cara apa kita menemukan kematian kelak.
Reaksi yang kemungkinan timbul oleh peristiwa Angsa Hitam adalah denial, yakni mekanisme pertahanan psikologis yang membantu seseorang menghindari peristiwa yang berpotensi menimbulkan kesedihan, atau melakukan penyangkalan atas sebuah fakta yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang sudah dianutnya sejak lama.
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H