Ketika seseorang berada dalam kerumunan (crowds), ia akan  menghilangkan dirinya sendiri untuk menyatu ke dalam jiwa massa. Oleh para ahli psikologi, fenomena ini diistilahkan sebagai Deindividuation Theory. Umpama air, ia dapat berbentuk genangan yang tenang, atau gelombang huru hara.
Teori Penularan Sosial  (Social Contagion Theory) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. Mereka melakukan tindakan meniru atau mengimitasi. Kecuali telah terencana, dibutuhkan seorang provokator untuk memancing kekacauan yang kemudian menular dengan cepat.
Di Indonesia, salah satu kerumunan massa yang terbaik dan terbesar sepanjang masa adalah Aksi 212 dan Reuni 212. Mereka adalah solidaristic crowds atau kesatuan massa yang munculnya karena didasari oleh kesamaan  ideologi atau orientasi yang mampu membebaskan diri dari fenomena Mob. Mob identik dengan kerumunan menyimpang yang condong rusuh dan destruktif.
Neil Smelser mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif. Yang relevan untuk dibahas dalam kontestasi politik kontemporer adalah kemunculan massa secara terstruktur yang mewujudkan ketegangan (structural strain) dan mobilisasi massa.
Di era milenial ini, kerumunan berbentuk fisik bertransformasi ke dalam kerumunan virtual. Meski berkisar di ruang maya, fenomena ini jauh lebih masif. Indonesia sekarang ini terbelah menjadi dua kerumunan besar yang saling melancarkan perang urat saraf (psywar) hampir setiap detik.
Meminjam Milgram (1977) -- diubah suai ke dalam kerumunan maya -- mereka berawal dari sekumpulan orang yang membentuk agregasi atau semacam buzzer politik baik dibayar atau sukarela untuk kemudian memancing emosi atau atensi para netizen. Isu atau potongan opini meluas dalam hitungan detik untuk mengatakan bahwa itu berlangsung sangat cepat. Mereka membentuk lingkaran solidaritas yang menghimpun dari segala arah.
Kita sedang memasuki tahun politik dengan memakai metode demokrasi yang tidak esensial. Gejala itu segera terlihat dalam ujaran kebencian, merendahkan, membelokkan fakta atau mengambil sepotong kalimat yang dapat menjatuhkan figur publik. Lingkaran solidaritas yang terbentuk seakan membenarkan Deindividuation Theory, rerata netizen melepaskan kemampuan dan menegaskan kemalasannya untuk menilik lebih jauh apa-apa yang mereka ributkan sebenarnya. Saling mengejek, saling mematahkan atau bertukar hoaks menjadi hal biasa, tapi substansinya sudah lepas.
Bak menonton film Resident Evil, virus-T itu dengan cepat menyengat para netizen dan seketika mengubah mereka menjadi zombie. Zombie bergerak tanpa jiwa karena jiwanya sudah menyatu dengan jiwa massa yang bertujuan menyerang lawan politik apapun caranya.
Satu contoh yang paling tidak elegan adalah racun kalajengking yang viral di sosial media. Kita boleh tidak sependapat dan tidak sealiran dengan arus politik tertentu. Tapi cara yang tidak sehat dengan memelintir sepotong kata untuk mencitrakan seseorang agar selalu tampak buruk dan konyol akan sulit dibenarkan hati nurani.
Makanya netizen harus sudah bisa berlatih untuk tidak menjadi kerumunan yang mudah membeo. Setidaknya periksa dulu. Jangan lihat siapa yang mengatakan tapi apa hikmah yang terkandung di dalamnya. Dalam Musrenbang RKP 2019 yang berlangsung di Jakarta, 30 April 2018, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya mengambil dua contoh produk super mahal yakni racun kalajengking untuk kebutuhan medis yang dibandrol USD 10,5 juta, atau Rp 145 miliar per liter dan Californium 252 untuk eksplorasi migas yang harganya USD 27 juta per gram atau Rp 357 miliar per gram.
Padahal itu bukan poinnya. Terlepas dari kontroversi seputar racun kalajengking, yang ingin dikatakan Jokowi, bahwa di antara dua produk super mahal tersebut, ternyata ada yang lebih mahal yakni waktu. Sang kepala negara terlebih dahulu "tersengat" kalajengking sebelum nasihat berharganya tentang mahalnya waktu beserta argumen-argumen yang menguatkan, ditonton oleh mereka yang tampak lebih ingin hal ini terlihat sebagai lucu-lucuan sinis belaka. Jika poinnya sudah ketemu, mestinya usah peduli apakah itu racun kalajengking atau sayap nyamuk.
Tidak hanya Jokowi tentunya, karena Prabowo sebagai rival utama mendapat perlakuan serupa dari tidak elegan dan dewasanya cara kita berpolitik. Para elit dari kedua kubu pun tampak memancing di air keruh. Hampir tidak ada upaya melakukan peredaman dan memberikan pendidikan politik yang sehat kepada kerumunan netizen masing-masing.
Inilah Indonesia, menegakkan esensi demokrasi di negeri ini sama sulitnya dengan memerah racun kalajengking. Tapi biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai proses "demokrasi seolah-olah" ini harganya setara dengan bergalon -- galon racun kalajengking. Dalam APBN 2018, pemerintah mengalokasikan dana pertahanan keamanan dan demokrasi senilai Rp220,8 triliun untuk Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Belum dihitung berapa dana yang dikeluarkan masing-masing kandidat.
Sebagai negeri yang pernah terjajah ribuan tahun oleh sistem feodalis raja-raja dan kolonialisme barat, rakyat akan terus canggung. Ada kalanya mereka menempatkan dirinya sebagai budak politik ketimbang rakyat yang bermartabat, tapi mengaku paling demokratis sepanjang diberi kesempatan berbicara tanpa berpikir. Ada lagi yang seperti rela tidak makan  asal junjungannya tetap terpilih. Ini luar biasa aneh. ***
Muhammad Natsir Tahar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H