Dari Plato kemudian muncul Neoplatonisme sebagai jalan tengah. Aliran ini  berupaya menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles yang merupakan puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani. Dipopulerkan oleh Plotinus dari Lycopolis, Mesir pada abad ketiga masehi. Sebagai pembelaan terhadap Plato, agar manusia memiliki pemikiran kosmik yang berpuncak kepada Tuhan dan tidak semata - mata kepada logika dan metafisika khas Aristoteles.
Siapa yang menyangka setelah hampir seribu tahun wafat, Aristoteles terlahir kembali di jazirah Arab. Kitab - kitab Aristoteles dibongkar oleh para ilmuan gurun Sahara yang kemudian menjadi obor penerang bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke tujuh. Aristoteles tak bisa dibiarkan sendirian, di Timur Tengah oleh filsuf Ibn Rusyd (Averos) ia telah diselaraskan dengan Teologi Islam, sedangkan di Eropa, Aristoteles dipadukan dengan Teologi Kristen oleh Thomas Aquinas.
Yang artinya bahwa kekuatan otak dan nalar manusia tidak bisa dibiarkan sendirian mengurus dunia. Kita butuh bimbingan Sang Pencipta, tempat awal dan akhir. Di samping Neoplatonis, para peneladan Aristoteles abad Renaisans macam Jean-Paul Satre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir  acap menyebut: eksistensi mendahului esensi (atau dibalik saja). Mereka melahirkan aliran Eksistensialisme yang telah melepaskan filsafat dari lingkup menara gadingnya yang eksklusif, untuk kemudian masuk ke dalam dunia publik.  Pada akhirnya kita semua butuh filsafat, agar tak terlalu lama bermain - main dengan gelembung sabun. ***Â
Muhammad Natsir Tahar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H