Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wajah Kekanak-kanakan (Televisi) Kita

21 Juni 2016   11:37 Diperbarui: 21 Juni 2016   12:05 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini mestinya menjadi keprihatinan semua pihak mengingat televisi telah memenuhi hampir seluruh ruang privat di setiap keluarga Indonesia. Televisi mampu membentuk pola pikir dan tabiat anak bangsa, belum lagi ditambah sampah – sampah informasi dari media sosial.

Bahwa sejatinya televisi dengan hak siarnya adalah kekayaan nasional yang menumpang kepadanya hajat hidup orang banyak. Tapi kekayaan tersebut telah dicuaikan oleh output program televisi yang berantakan kualitasnya bahkan sengaja meruntuhkan derajatnya sendiri dengan misalnya menyiarkan berita pernikahan artis semacam Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, berminggu – minggu lamanya. Program infotainment pula menjadi ajang pembuka aib dan segala remeh temeh dunia selebriti. Hal ini tentu saja merusak rasa keadilan bagi warga negara yang membutuhkan siaran – siaran bermanfaat.

Seperti air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang - Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tujuan kemakmuran rakyat itu hampir tidak ditemukan di televisi – televisi kita, yang ada justru upaya – upaya untuk menggerus kemakmuran itu dengan membentuk pola hidup konsumtif dari iklan – iklan.

Tidak semua siaran televisi buruk. Banyak juga di antaranya justru bernilai edukasi misalnya My Trip My Adventure, On the Spot, Laptop Si Unyil, Kick Andy dan Mario Teguh. Tapi kemunculan mereka tidak mendominasi keseluruhan program televisi yang ada. Siaran – siaran bermutu bahkan lebih banyak ditayangkan oleh televisi – televisi lokal.

Televisi – televisi nasional terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan omzet iklan untuk membiayai operasionalnya. Hal ini menyebabkan semua program diproduksi berdasarkan panduan rating meski lembaga konsultan pengukur rating masih monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.

Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya sebagaimana ditulis Azmah Subagio adalah pemakaian hanya 2.000 pemirsa televisi dari 10 hingga 12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Sementara penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten dan kota dari Sabang sampai Merauke. Pengukuran semacam ini jelas tidak efektif untuk mengukur prevalensi pemirsa.

“Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional,” demikian Jokowi.

Jika boleh berharap, sambil menunggu televisi berbenah sesuai standar yang ditetapkan oleh KPI, ada baiknya kita sebagai konsumen terutama yang berada di wilayah rating mulai berpikir arif bahwa siaran yang dipancarkan televisi adalah kekayaan nasional yang bersifat mewakili kepentingan khalayak. Televisi bukan semata pemuas kebutuhan akan hiburan kekanak – kanakan tak tahu waktu dan tidak mewakili martabat bangsa, apalagi pada saat – saat penting nan syahdu menjelang sahur, ketika orang – orang beriman sedang khusuk dalam qiyamul lail untuk menggapai ridho Tuhannya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun