Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wajah Kekanak-kanakan (Televisi) Kita

21 Juni 2016   11:37 Diperbarui: 21 Juni 2016   12:05 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sepertiga malam terakhir, Tuhan turun ke langit dunia. Mengijabah doa – doa dan membentangkan rahmat pengampunan. Apatah lagi pada Ramadhan sebagai bulan pelipatgandaan dari semua pahala amal, pada berkah sahur, pada khusuk tahajud dan pada pesona tadarus - tadabur. Bersamaan dengan itu, televisi – televisi kita mengumpulkan pelawak – pelawak, mengumbar kosakata tak bermutu, bermain musik, menyiarkan sayembara dan di antara sekejap, menjejalkan pesan – pesan komersial.

Dengan sekali tekan, remote control televisi kita bisa saja menyampakkan siaran – siaran serupa itu dan segera menggantikannya dengan acara religi bermutu. Pertanyaannya, mengapa mereka selalu ada sepanjang bulan puasa? Itulah wajah televisi kita yang sebenarnya mencerminkan wajah kita. Wajah Muslim Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Rasanya akal sehat manusia, tidak akan pernah menemukan relevansi antara waktu – waktu emas menjelang sahur dengan kemunculan badut – badut televisi. Entahlah, pada zaman logika terbalik sekarang ini, semua ada dalil pembenarannya. Mungkin seperti ini: hormatilah orang yang bertepuk tangan, yang berjoget dan yang tertawa terpingkal – pingkal pada waktu sahur, kasihan mereka butuh hiburan. Mereka kurang piknik, barangkali.

Televisi kita bertuhankan rating sebagai indikator kesukaan publik pada jenis tontonan tertentu. Di mana gula di situ semutnya. Sudah pasti acara lawak – lawak itu banyak penggemarnya menurut rating. Televisi bukan kerja – kerja sosial, mereka peraup keuntungan triliunan rupiah dari iklan – iklan sepanjang tahun. Televisi sekaligus sangat reflektif dan bertabiat paling market oriented. Programa apa yang paling sering ditonton masyarakat, itulah yang akan muncul di televisi. Karena di situ pemasang iklannya berkumpul. Jika suatu masa, misalkan rating untuk siaran religi tinggi maka di antara stasiun televisi akan berkejar – kejaran menayangkannya dengan memajang ustad paling seleb sepanjang hari.

Orang – orang dahulu berbangga. Pada zaman televisi masih berbentuk kotak kayu dan hitam putih, siaran – siaran yang muncul adalah pilihan dan sangat memperhatikan kualitas. Meski tak dapat menghindar dari celoteh Menteri Penerangan atau senyum Bapak Presiden dalam acara “Kelompencapir”, tapi masih ada Pak Tino Sidin yang mengajarkan cara melukis pada anak, ada Boneka Si Unyil dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) yang edukatif. Juga ada Square One Television berupa acara televisi pendidikan anak – anak yang mengajarkan matematika. Bandingkan dengan sinetron remaja kita sekarang yang seperti jemu jadi manusia lalu berimaji sebagai ikan duyung, harimau atau serigala.

Acara kuis seperti “Berpacu dalam Melodi” dibawakan dengan sangat santun oleh Koes Hendratmo atau “Gita Remaja” oleh Tantowi Yahya terlihat berkelas. Bandingkan dengan “New Famili 100” yang dipandu Tukul Arwana.

Program berita seperti “Warta Berita” terkesan sebagai penyejuk dan hanya mempublikasikan berita – berita pembangunan. Terlepas apakah itu dituduh sebagai alat propaganda Orde Baru, yang pasti berita – berita televisi pada rezim reformasi yang kita puja – puja sekarang justru liar dan artifisial.

Dengan sangat menyesal, sejak bermunculan televisi – televisi komersial yang genit, hak publik untuk memperoleh acara – acara bermutu terampas hampir tanpa sisa. Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang diharapkan konsisten untuk itu justru dipaksa untuk bertransformasi sehingga tidak sedewasa sebelumnya, agar tidak ditinggalkan pemirsa. Juga Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tak sanggup bertahan lama dengan program – progam pendidikannya.   

Bukan tidak bisa televisi kita membuat programa yang bermutu kelas dunia, bisa. Pertanyaannya siapa nantinya yang akan memasang iklan. Yang saban hari kita tonton adalah wajah mayoritas kita sendiri yang gemar tontonan ringan tak mendidik, sedangkan pihak televisi hampir tak punya beban moral untuk mengedukasi masyarakat, karena mereka terlalu sibuk untuk mengejar laba dengan memenuhi apa saja selera pemirsa.

Bahwa industri televisi sungguh menggiurkan. Dari riset yang dilansir Adstensity menunjukkan total belanja iklan televisi pernah mencapai Rp 99 triliun atau 66% dari total pendapatan iklan nasional. Nafsu untuk memburu profit justru diperparah oleh intervensi sebagian owner stasiun televisi yang terlibat politik dan kepentingan kelompok.

****

Survei  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan sembilan Perguruan Tinggi Negeri di sembilan kota yang telah melakukan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015, ditemukan bahwa dari 9.000 program acara televisi, nyaris semuanya berada di bawah kualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun