Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gimmick Palu Arit dan Gigantis Kapitalisme

16 Mei 2016   17:09 Diperbarui: 19 Mei 2016   13:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap telah mencoreng sejarahnya sendiri dengan cara mencabut nyawa. Komunisme tidak hanya dikabarkan telah meneteskan darah dengan brutal, tapi juga ia tak henti menggelegakkan darah tua seorang Taufik Ismail. Puisi Taufik menusuk inti jantung kemanusiaan: ada partai di dunia ini yang telah membantai 120 juta orang, selama 74 tahun di 75 negara. Artinya 4.500 orang meregang nyawa tiap hari selama 74 tahun di 75 negara. Semengerikan itukah?

Sebelum peristiwa Gerakan 30 September (G30S), Taufik Ismail memang terkenal benci dengan PKI. Ia menggagas Manifesto Kebudayaan untuk menandingi seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dari sayap kiri Indonesia yang diinisiasi DN Aidit, Nyoto dan kawan – kawan. Taufik adalah saksi sejarah yang masih bernafas hingga sekarang. Paling tidak dibutuhkan seorang tua berumur minimal 70 tahun untuk dianggap dewasa dan memiliki kemerdekaan berpikir ketika peristiwa naas G30S terjadi pada 50 tahun yang lalu. Itupun jika ia intelek dan tidak berpihak.

Sebagian kita sedang di alam arwah ketika insiden itu terjadi dan sisanya adalah kanak – kanak. Apa yang paling memungkinkan kita mengenal PKI adalah cerita dari bangku sekolah dan narasi tunggal sejarah yang disediakan pemerintah selama 50 tahun terakhir. Hampir semua orang bergidik mendengar kata PKI dan dalam perspektif kanonik, kita langsung merasakan aura hitam dan bau darah dari orang – orang yang memakai kaos palu arit. Bagaimana jika lambang PKI diganti bunga bakung atau permen lolipop?

Jika kita begitu membenci yang kiri, berarti kita mungkin memihak ke yang kanan. Apa yang kanan itu, tiada lain kapitalisme. Kapitalisme adalah pemenang sejarah perebutan kekuasaan di dunia, sedang Sosialisme – Komunisme – Marxisme – Maoisme - Leninisme adalah pecundang yang diletakkan sejarah pada tikungan tajam, tercampak dari keelokan peradaban dan beraroma amis darah.

Sayap kanan kapitalisme telah masuk ke seluruh lekuk kehidupan kita, dan hampir tak mungkin ada ruang kosong tersedia untuk komunisme. Ia adalah malaikat rupawan yang memberi pekerjaan pada hari kelaparan. Ia adalah pembonceng paling agung atas kesaktian Pancasila, untuk mengeruk semua gula – gula tanah tumpah darah kita, Indonesia Raya.

Reaksi dan ketakutan yang berlebihan kepada prediksi munculnya Neo PKI hampir menjadi absurd.Kapitalisme itu adalah gigantis, ia terlalu raksasa untuk bayi kurang gizi dari reinkarnasi komunisme. Peristiwa Kaos PKI lebih menyerupai gimmickatau tipuan kecil untuk pengalihan isu besar.

Dan kita selalu ambigu, tak punya hati yang kukuh. Gagal untuk bisa melihat persoalan secara utuh, reaktif berlebihan dan menjadi pemaki paling depan di dinding sosial media. Benci mati pada PKI tapi terkagum – kagum pada tokoh intelektualnya, Tan Malaka. Tak ingin melihat wajah “buruk” komunisme  tapi tenggelam penuh syahdu pada keindahan prosa Pramoedya Ananta Toer.

Jika dalam setandan pisang ada yang busuk, apakah pisang itu buruk? Tan Malaka yang punya cita – cita luhur akan negeri ini dan pencipta “Republik Indonesia” bahkan tak pernah sekalipun merasakan manisnya Indonesia. Ia hidup dalam kesukaran sepanjang hayat, berdiam di kontrakan separuh kandang kambing, diburu dari segala penjuru dan mati ditembak bangsanya sendiri.

Pram yang selalu setia membela jelata dan meraih Nobel dengan prosanya yang serupa kekuatan magis, separuh hidupnya habis dalam penjara Digul. Perhatikan golongan mana yang berkipas – kipas dan telah mereguk sampai habis kekayaan dan memikulkan hutang di bahu cucu kita sejumlah ribuan triliun.

Baik Tan maupun Pram adalah pembenci kekerasan. Jika demikian yang merusak nama PKI adalah oknum yang terinspirasi cara – cara radikal Mao Tse Tung atau Josef Stalin. Mereka menggerakkan rakyat lapar yang hilang akal karena periuk nasi mereka kosong, untuk memberontak dan membantai. Bahwa telah terjadi pembantaian balasan secara pukul rata atas PKI usai Peristiwa 65, mestinya menjadi perenungan kita sepanjang masa.

Perhatikan sejarah gerak gerik rezim kita. Setiap rezim bertumpu pada satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Rezim Sukarno tidak memberi tempat lebih lapang kepada pemikiran – pemikiran Islami Mohammad Natsir. Perdana Menteri religius ini mengkritik sikap Sukarno yang terkagum - kagum pada sekularisme Mustafa Kemal Attaturk. Mohammad Natsir, Perdana Menteri yang tak pernah pakai baju bagus itu kemudian menyingkir dari inner circleSukarno. Ia meneruskan hidup dalam penjara, sebagaimana juga Buya Hamka.

Demikian pula Muhammad Hatta, konsep ekonomi kerakyatannya disindir Sukarno dengan persepsi macam – macam. Meski Wakil Presiden bahkan ia tak pernah kesampaian hanya untuk membeli sepatu Bally. Saking jujurnya, saking merakyatnya. Tapi ia tersingkir.

Di akhir – akhir masa jabatannya, oleh Blok Barat, Sukarno tercium telah berat ke kiri (Sosialisme Marhain bukan Komunisme). Misteri penyingkiran Sukarno dari istana kerap dihubungkan dengan G30S PKI. Spekulasi dari analisis para ahli sejarah tidak secara validmembongkar misteri tersebut, apakah karena isu Dewan Jenderal sehingga terjadi konflik internal di tubuh militer, permainan asing lewat operasi intelijen CIA atau kudeta PKI  lewat uluran tangan Republik Rakyat China (RRC).

Lewat Supersemar yang juga misterius Soeharto membersihkan PKI dan membangun rezimnya sendiri. Apakah kemudian hanya secara kebetulan lewat Soeharto kapitalisme mendapat tempat istimewa di dalam istana?

Tidak menunggu lama, begitu Soeharto jadi presiden, kuku – kuku neoliberalisme – kapitalisme menancap lebih dalam pada sumur – sumur minyak, emas, intan berlian, segala jenis logam, laut, tanah dan hutan. PKI yang telah lumpuh dan rata dengan tanah tanpa pembuktian valid dan keilmuan sejarah, mendapat stigma negatif sebagai organisasi paling terlarang di Indonesia. Bahkan propaganda kebangkitan komunisme terus dipertahankan untuk mengunci kebebasan sipil yang mengkritik kebijakannya.

Tulisan ini bukan hendak membela tandan – tandan pisang yang rusak, tapi mengajak kita bersama untuk melihat seluruh percik – percik persoalan bangsa secara multi dimensional. Lebih berbahaya mana sekarang, reinkarnasi PKI yang loyo atau gigantis kapitalisme asing yang telah menghisap dan membuat kita berhutang?

Tulisan ini juga tidak memiliki kewenangan intelektual untuk menjelaskan korelasi antara kemunculan atribut – atribut PKI dengan hubungan mesra yang dibina Indonesia dengan Tiongkok belakangan ini. Sedangkan Tiongkok sudah banyak melenceng dari ajaran dasar komunisme. Tidak terhitung banyaknya sektor ekonomi privat yang menggurita di negara ini.

Tapi sebagai anak bangsa kita tentunya sepakat memberangus ajaran komunisme yang gagasan dasarnya adalah anti Tuhan (Antiregioznik). Inilah paham yang diusung para biang komunisme antara lain: Ludwig Feuerbach, Hegel, Karl Mark, Lenin, Bukharin, Mao, Stalin, Muso dan Aidit.

Mereka mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat yang melenakan dan membuai. Agama adalah kreasi manusia kasta terbawah yang miskin, tertindas dan diperlakukan tidak adil serta putus asa. Karena dasar perjuangan komunisme adalah dialektika materialis, pertentangan kelas dan keutamaan ilmu pengetahuan, maka sebagian tokoh komunis yang membenci agama, membentuk semacam biro atau pasukan khusus untuk membasmi agama dan agamawan.

****

Berpikir secara adil itu memang berat. Apalagi kebenaran hanya mutlak milik Tuhan. Satu dimensi kebenaran yang kita pegang erat hingga ke anak cucu, belum tentu benar menurut dimensi kebenaran lainnya. Jalan satu – satunya adalah kembali kepada dogma dan nilai – nilai universal.

Dalam CAPITA SELECTAMohammad Natsir disebutkan bahwaIslam melarang umatnya bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu bapa dan nenek moyang sekalipun. “Dan djanganlah engkau turut apa jang engkau tidak mempunjai pengetahuan atasnja, karena sesungguhnja pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanja akan ditanja tentang itu”. (QS: Bani Israil : 36.)

Kembali kepada Taufik Ismail, ternyata 120 juta orang yang mati itu bukan karena semata – mata dibantai oleh komunis dengan mesin pembunuh, tapi mereka mati sendiri akibat adanya kerja paksa. Kemudian budayawan lagendaris ini  mengecam sistem ekonomi komunis yang tidak satupun berhasil kecuali menyebabkan kematian akibat kelaparan dan bergelimpangan di jalan – jalan.

Angka – angka tersebut kemudian dipinjam Ayahnda Taufik Ismail untuk mengecam PKI di Indonesia, namun ia lupa menyebut fakta perlakuan kejam secara bumi hangus juga sudah diderita PKI dan entah siapapun yang telah dihubung – hubungkan dengan mereka. 500.000 sampai satu juta orang mati menggelepar dalam sekejap.

Kita sepakat untuk membenci komunisme, namun tidak seperti tungau di seberang tampak, tapi gajah di pelupuk mata tidak.  Jika kita Pancasilais sejati mestinya sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga dapat diterapkan pada dimensi ini, karena seburuk – buruknya mereka – katakanlah begitu – mereka tetap rakyat Indonesia. Sekali lagi, berpikir adil itu sulit. Tapi Sang Pemilik Keadilan Paling Hakiki tidak tidur. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun