Bunga tidak hanya dilanda pertempuran batin yang dahsyat, namun juga tekanan sosial tak hingga dari semua sisi. Hanya keganjilan peradaban yang menempatkan wanita seperti Bunga pada posisi mulia. Pada zaman Babilonia, pelacur dikenal dengan julukan Kizrete yang disanjung-sanjung sebagai profesi terhormat. Kemudian masyarakat Athena purba menyebut mereka Hetaerae yang diperebutkan para bangsawan. Bangsa Jepang mendudukkan kaum pelacur pada strata sosial tinggi sebagai seniman penghibur dengan label Geisha.
Di luar keganjilan peradaban itu, pelacur dianggap makhluk hina dina. Pada zaman Dinasti Han, wanita penghibur dikelompokkan bersama penjahat, tahanan perang dan budak. India kuno memberi dua pilihan kepada wanita golongan rendah, menikah atau menjadi pelacur. Sedangkan Romawi menganggap pelacur sebagai penjahat dan penganggu anak–anak. Di zaman ini hampir semua orang menempatkan Bunga sebagai wanita malam dari lembah kegelapan.
Para agen surga ingin meludah muka Bunga dan tak sabar supaya dunia cepat kiamat biar Bunga segera diseret ke jurang neraka berdasarkan dalil–dalil yang mereka hapal. Ke mana saja mereka ketika Bunga ditindih, ketika alat reproduksinya diruda paksa dan diempaskan ke dalam palung kenistaan?
Aktivis, sosialita, pejuang feminisme, aparat dan orang – orang yang merasa penting lainnya tidak sanggup melakukan apapun kecuali memastikan Bunga nyaman di lokalisasi atau tempat hiburan tertentu sehingga tidak menganggu peradaban yang lebih tampak mulia di atasnya. Sedangkan Bunga tidak sendiri, ada ribuan, bahkan puluhan ribu gadis belia seperti dirinya yang terjerat kejahatan human trafficking sejak industri hiburan di Batam mulai menggelinjang. Mereka dikandangkan, mereka divaksin rutin seperti hewan ternak atau dibunuh penyakit kelamin, mereka dipajang dalam akuarium dan disiksa oleh penderita sadomasokis.
Negara tidak hadir dalam setiap rentetan nestapa yang menimpa Bunga dan ribuan Bunga lainnya yang telah dijemput dengan muslihat licik dari kampung–kampung paceklik, dari halaman–halaman mereka yang tandus, dari sudut terpencil yang sepi lowongan kerja, dari tanah–tanah pertanian yang sudah terampas oleh mesin industri, dari kekayaan hutan yang telah diserahkan negara kepada kapitalis asing.
Konsep Negara Kesejahteraan (welfare state) meski telah diamanatkan dalam UUD Pasal 33 tidak pernah sanggup diselenggarakan oleh pemimpin negeri ini sejak zaman Orde Baru. Keniscayaan hasutan kaum neoliberalisme telah memeluk erat para petinggi puncak hingga deposit kekayaan alam yang melimpah ruah itu tergadai dan tak mampu lagi memberi jaminan agar setiap anak bangsa ini bisa sekolah dari keluarga–keluarga yang tercukupkan. Sampai kapan pun dan di mana pun konsep neolib tidak akan pernah bisa memberi keadilan kepada kaum marjinal.
Selain itu, politik anggaran yang selalu gemuk pada sektor belanja rutin dan gairah korupsi yang sulit diredam, menyisakan terlalu sedikit kue pembangunan yang bisa dinikmati oleh jelata untuk mengangkat harkat mereka dari kemiskinan absolut.
Sebagai catatan, Indonesia adalah negara terkaya dengan Gross Domestic Product (GDP) nomor 15 di dunia yang tergabung dalam G20 (kelompok negara yang menguasai 81 % kekayaan dunia), namun rata-rata penghasilan perorang (perkapita) pernah tercampak jauh ke urutan 108 ($3,700), berada di antara negara miskin dan primitif di Afrika, Congo dan negara penuh konflik bersenjata, Irak.
Padahal kekayaan domestik yang dikuasai mayoritas oleh sektor industri neolib di Indonesia melebihi 60 % dari gabungan kekayaan seluruh GDP anggota Asean. Inilah bukti dari gagalnya pemerataan dan ketidakadilan ekonomi tak tanggung–tanggung, yang sangat menyesakkan dada.
****
Bisnis prostitusi selain sebagai industri paling tua di dunia, ia juga paling perkasa. Ketika sektor ekonomi lain mengalami turbulensi, transaksi syahwat di Batam tak pernah sepi peminat. Bahkan ia mampu menopang secara multiplier effect sektor bisnis lainnya seperti hotel, entertainment, transportasi, perdagangan dan seterusnya. Tanpa percikan api cinta dari para wanita penghibur, maka dunia malam di Batam atau ceruk metropolis mana pun akan gulita.  Â