Di sudut lain, di kawasan slum, orang – orang pinggiran lintang pukang mendirikan gubuk di atas tanah terlarang. Mereka adalah pendatang yang tidak beruntung. Eksistensi mereka diperdebatkan antara sisi humanis dan pelanggaran hukum.
Lama – lama mereka mendapat ganti rugi, lalu pindah lagi ke kawasan terlarang, kemudian kembali merayakan uang ganti rugi (disebut juga uang paku), begitu seterusnya. Yang tobat, pindah ke Kavling Siap Bangun (KSB) sebagaimana seharusnya.
Keturunan dari generasi yang sudah lama menetap di Batam bertahan di Kampung Tua yang sakral. Kampung Tua memiliki sempadan yang imajiner dengan lahan milik pemegang otoritas. Sehingga beberapa kelompok pendatang baru, ikut berlindung di Kampung Tua kemudian tanpa usul periksa mendapat labelisasi: Melayu atau Tempatan.
Ada anekdot lucu soal tanah ulayat. Hanya bermodalkan sebuah ketapel dan empat buah biji nangka, seseorang sudah mendapat de facto atas tanah. Beberapa tahun kemudian di hadapan investor ia tinggal membusungkan dada seraya bersabda: “tanah beta batasnya dari pokok nangka sini ke pokok nangka ujung sana”. Sekuat mana ia bisa mengokang ketapel sejauh itu pula ganti rugi yang akan ia klaim.
Fenomena Batam secara utuh seragam dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia sebagai tempat bercokolnya para kapitalis, keterdesakan ekonomi akibat tingginya urbanisasi, pertumbuhan kawasan kumuh (slum) serta kekacauan tata ruang dan ketidaksinambungan ekologi kota.
Globalisasi yang diterapkan di Batam dalam empat dasawarsa terakhir menjadi dalih untuk tidak memberi akses lebih banyak kepada kepentingan publik. Implikasinya terhadap spasial pembangunan kota adalah tata ruang yang sangat memihak kekuatan dominan dalam hal ini pemilik modal.
Kota Batam hari ini telah menjadi pusat aglomerasi milik segelintir orang. Menjamurnya konsep perumahan regency atau cluster system adalah sedikit upaya untuk menghindari tetek bengek kaum marjinal sekaligus membersihkan aroma kampung dari orang-orang tempatan yang telah menyumbangkan tanah moyangnya untuk itu.
Ketidakadilan alokasi sumber daya yang penting bagi rakyat telah menimbulkan kontradiksi di Kota Batam. Pergeseran makna dari public goods menjadi private goods sebagai akibat dari keniscayaan laju sejarah neoliberalisme menjadi pendorong kontradiksi di tengah masyarakat.
Salah satunya yang paling kentara adalah penggusuran rumah liar dan kampung-kampung kumuh oleh lembaga otoritas dengan perangkat aparatus-aparatusnya untuk dipersembahkan kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan pembangunan dan estetika.
Sesungguhnya dalam cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam prinsip kesetaraan (equal opportunity). Sejak awal seharusnya orang-orang Batam sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan itu ternyata tidak mampu membuka kebuntuan akses bahkan justru menghambat masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri.
Logika trickle down effect sangat berperan dalam sistem pengalokasian lahan di Batam. Ratusan ribu hektar tanah telah diserahkan kepada pengembang hanya dengan membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dan sedikit bisik - bisik dengan orang dalam. Selanjutnya pengembang akan memiliki kuasa penuh atas tanah murah tersebut untuk kemudian menjualnya dengan untung berlipat – lipat kepada masyarakat.