Sesuatu yang tanpa kita sadari dan terus menerus kita lakukan sepanjang hayat adalah menengadah ke langit ketika sedang berdoa atau berbicara kepada Tuhan. Sedangkan langit itu abstrak, langit itu jungkir balik karena bumi terus berputar secepat 11,18 kilometer per detik memenuhi kodratnya agar tercipta siang dan malam.
Sekian lama kita telah menyederhanakan konsep tentang Tuhan. Kita menggunakan gambaran yang amat berani untuk mengungkapkan kerumitan realitas Tuhan, bahwa Yang Esa itu ada di atas, maka kita pun mendongak ke langit. Rongga imajinasi kita telah disesakkan oleh khotbah para mistikus melalui definisi yang seragam tentang dunia spritualitas transendental. Padahal manusia tidak diberi pengetahuan tentang zat Tuhannya kecuali sedikit. Manusia benar – benar makhluk sok tahu yang menyedihkan.
Di dalam kosmos-Nya, manusia hanyalah nokhtah super kecil yang bergerak super lambat. Andai 200 juta manusia yang rata – rata tingginya 195 sentimeter disambung – sambungkan, barulah mereka bisa membuat sebuah tangga untuk mencapai permukaan bulan. Padahal bumi dan bulan adalah jarak terdekat antara benda – benda galaksi.
Jika manusia ingin melancong dari ujung ke ujung galaksi Bima Sakti dengan kecepatan cahaya maka akan dibutuhkan waktu 100 ribu tahun, itu berarti membutuhkan seribu keturunan manusia yang rata – rata berumur seratus tahun, dalam perlawatan generasi yang sambung menyambung. Ini barulah dalam takaran sebuah galaksi, sedangkan seluruh jagad raya ini dihuni oleh miliaran galaksi.
Apabila hal yang maha penting mengenai Tuhan dalam realitas super kosmos saja disederhanakan sedemikian rupa oleh manusia maka bagaimana dengan hal – hal lainnya.
Kita telah tunggang langgang saban hari di muka bumi ini mengerjakan hal yang remeh temeh dan nyinyir pada hal – hal yang tidak substansial.
Lihatlah betapa menyedihkan bangsa ini pada helat pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Seseorang bisa bolak balik turun ke dalam parit atau menunggang kuda dengan gagah berani, hanya untuk menegaskan bahwa mereka adalah manusia yang paling layak untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kita seolah – olah telah menyelenggarakan demokrasi dengan gemilang, padahal gagal total sejak awal. Demokrasi bukanlah soal angka – angka atau quick count. Demokrasi bukanlah tentang siapa yang memiliki gestur dan rupa mirip jelata. Demokrasi bukanlah tentang parodi dan upaya – upaya menggelikan untuk bisa memenangkan hati rakyat.
Memilih pemimpin adalah sebuah hajat besar demi masa depan bangsa ini, tapi diselenggarakan dengan ukuran – ukuran yang sederhana. Sehingga demokrasi menjadi semacam produk futuristik yang belum layak diaplikasikan di tengah makhluk “primitif” seperti Indonesia, bisa jadi di belahan bumi mana saja.
Pada titik ini, demokrasi hanyalah sebuah mesin pencari yang bisa dikendalikan oleh mufakat jahat atau diserahkan bulat – bulat kepada rakyat atas dalil vox populi vox dei. Itu akan sama berbahayanya, jika kemudian rakyat melakukan simplikasi pilihan – pilihan akibat kemalasan menganalisa.
Di negeri kolam susu ini, anak bangsa mengais sisa – sisa rezeki sedangkan para borjuis dan pemburu rente menari di atas tumpukan intan berlian. Di negeri kolam susu ini, susunya telah ditetesi semacam racun yang sama berbahaya dengan sianida, ia bernama “trickle down effect”. Dengan racun ini negara memelihara dan memanjakan para kapitalis. Seperti menuangkan anggur ke dalam gelas sampai penuh, lalu berharap tetesannya akan sampai ke mulut rakyat.
Di negeri tongkat kayu jadi tanaman ini, tongkat mana yang sudah jadi tanaman? Yang ada hanyalah tongkat komando untuk mengibarkan panji – panji laissez faire dan menegakkan hukum usang peninggalan Belanda yang ditambal sulam. Pemerintahan dijalankan demi pelaksanaan ritual pengosongan anggaran. Anggaran rutin aparatur sangat gemuk dan anggaran publik digencet habis – habisan, itu pun disalurkan dengan cara – cara akrobatik.
Jelata sibuk menonton berita di televisi, dari peristiwa ke peristiwa. Peristiwa yang baru menindih peristiwa yang lama. Suatu tragedi terkadang sengaja dicuatkan untuk mengalihkan perhatian publik. Anehnya kita melahap tontonan itu sebagai pemacu adrenalin semata atau pengganti opera sabun.
Bahwa negeri ini harus disadari telah sejak lama tersandera oleh hegemoni asing dan orang dalam sendiri dari kalangan avonturir dan jongos. Neokolonialisasi dan neolieberalisasi itu nyata, meski dibungkus dengan kesopanan dan kidung nina bobo. Sebagai bangsa penonton dan pemakan (oleh gairah konsumerisme via televisi), jelas hanya sedikit dari kita yang melihat hal ini sebagai suatu ikhwal serius.
Kita adalah bangsa yang sedang dihisap kekayaannya sedangkan rakyat penghuni bumi Indonesia selalu tepat berada pada garis kemiskinan bahkan lebih banyak di bawah garis itu. Alih - alih meratapi getirnya kehidupan, ajaibnya kita kembali lagi dan lagi masuk ke dalam ekstase suguhan panggung televisi tanpa suatu proses dialektika hingga terlelap.
Sebagaimana kita yang selalu menengadah ke langit ketika berdoa, atau membuat jalan lebih sederhana dengan memuja – muja patung di kuil pagan, maka pola pikir dan gerak keseharian kita selalu tidak sampai kepada esensi.
Kita adalah makhluk mikrokosmos yang terlalu lama berputar – putar di kulit terluar, tanpa ingin masuk lebih dalam, mengamati hakikat gerak alam, melakukan pengembaraan sufistik dan lelaku kontemplatif.
Jika terus demikian adanya, kita akan sangat mudah ditarik oleh rekayasa – rekayasa sosial, diadu domba oleh hal – hal teknis, disusupi oleh doktrin – doktrin sesat dan dilenakan oleh tontonan yang mengesankan semuanya seolah – olah baik – baik saja. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H