Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Makhluk Mikrokosmos

1 Februari 2016   12:51 Diperbarui: 16 Juli 2018   10:29 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Paulo Zerbato

Sesuatu yang tanpa kita sadari dan terus menerus kita lakukan sepanjang hayat adalah menengadah ke langit ketika sedang berdoa atau berbicara kepada Tuhan. Sedangkan langit itu abstrak, langit itu jungkir balik karena bumi terus berputar secepat 11,18 kilometer per detik memenuhi kodratnya agar tercipta siang dan malam.

Sekian lama kita telah menyederhanakan konsep tentang Tuhan. Kita  menggunakan gambaran yang amat berani untuk mengungkapkan kerumitan realitas Tuhan, bahwa Yang Esa itu ada di atas, maka kita pun mendongak ke langit. Rongga imajinasi kita telah disesakkan oleh khotbah para mistikus melalui definisi yang seragam tentang dunia spritualitas transendental. Padahal manusia tidak diberi pengetahuan tentang zat Tuhannya kecuali sedikit. Manusia benar – benar makhluk sok tahu yang menyedihkan.

Di dalam kosmos-Nya, manusia hanyalah nokhtah super kecil yang bergerak super lambat. Andai 200 juta manusia yang rata – rata tingginya 195 sentimeter disambung – sambungkan, barulah mereka bisa membuat sebuah tangga untuk mencapai permukaan bulan. Padahal bumi dan bulan adalah jarak terdekat antara benda – benda galaksi.

Jika manusia ingin melancong dari ujung ke ujung galaksi Bima Sakti dengan kecepatan cahaya maka akan dibutuhkan waktu 100 ribu tahun, itu berarti membutuhkan seribu keturunan manusia yang rata – rata berumur seratus tahun, dalam perlawatan generasi yang sambung menyambung.  Ini barulah dalam takaran sebuah galaksi, sedangkan seluruh jagad raya ini dihuni oleh miliaran galaksi.

Apabila hal yang maha penting mengenai Tuhan dalam realitas super kosmos saja disederhanakan sedemikian rupa oleh manusia maka bagaimana dengan hal – hal lainnya.

Kita telah tunggang langgang saban hari di muka bumi ini mengerjakan hal yang remeh temeh dan nyinyir pada hal – hal yang tidak substansial.

Lihatlah betapa menyedihkan bangsa ini pada helat pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Seseorang bisa bolak balik turun ke dalam parit atau menunggang kuda dengan gagah berani, hanya untuk menegaskan bahwa mereka adalah manusia yang paling layak untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.

Kita seolah – olah telah menyelenggarakan demokrasi dengan gemilang, padahal gagal total sejak awal. Demokrasi bukanlah soal angka – angka atau quick count. Demokrasi bukanlah tentang siapa yang memiliki gestur dan rupa mirip jelata. Demokrasi bukanlah tentang parodi dan upaya – upaya menggelikan untuk bisa memenangkan hati rakyat.

Memilih pemimpin adalah sebuah hajat besar demi masa depan bangsa ini, tapi diselenggarakan dengan ukuran – ukuran yang sederhana. Sehingga demokrasi menjadi semacam produk futuristik yang belum layak diaplikasikan di tengah makhluk “primitif” seperti Indonesia, bisa jadi di belahan bumi mana saja.

Pada titik ini, demokrasi hanyalah sebuah mesin pencari yang bisa dikendalikan oleh mufakat jahat atau diserahkan bulat – bulat kepada rakyat atas dalil vox populi vox dei. Itu akan sama berbahayanya, jika kemudian rakyat melakukan simplikasi pilihan – pilihan akibat kemalasan menganalisa.

Di negeri kolam susu ini, anak bangsa mengais sisa – sisa rezeki sedangkan para borjuis dan pemburu rente menari di atas tumpukan intan berlian. Di negeri kolam susu ini, susunya telah ditetesi semacam racun yang sama berbahaya dengan sianida, ia bernama “trickle down effect”. Dengan racun ini negara memelihara dan memanjakan para kapitalis. Seperti menuangkan anggur ke dalam gelas sampai penuh, lalu berharap tetesannya akan sampai ke mulut rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun