Batam dalam pandangan sebagian orang adalah kampung nelayan tradisional yang tiba-tiba saja menjadi kota besar. Tidak lebih daripada itu. Ada benang merah sejarah yang terputus ketika orang mulai berbondong-bondong ke Batam mencari sumber penghidupan baru di awal 70-an. Batam makin lama makin sesak oleh pendatang. Mereka bercampur baur dan mengikat diri menjadi warga Batam yang baru dengan pandangan lurus ke depan. Tanpa merasa perlu menoleh ke belakang, melihat sejarah.
Sejarah Batam terkubur oleh dinamika industrialisasi yang progresif. Hikayat, aksioma, sastra klasik bahkan mitologi sebagai anasir sejarah Batam yang tak terdokumentasi bersembunyi di kampung-kampung tua pesisir menjadi sebatas cerita dari mulut ke mulut. Sebagian lainnya menjadi enigma orang-orang kota. Sampai kemudian banyak khalayak menganggap: titik nol kilometer Pulau Batam bermula ketika keran industrialisasi modern dibuka, untuk tidak mengatakan sebelum itu Batam tidak pernah ada.
Nama Batam hampir tidak disebut-sebut dalam literatur sejarah nasional. Barangkali akibat  terlambatnya ahli-ahli sejarah Tanah Air membicarakan tentang era Kesultanan Riau Lingga Johor karena sempat ‘dicurigai’ sebagai keluarga besar Semenanjung Malaysia. Ini agaknya yang menjadi musabab mengapa patriot-patriot Melayu Kepulauan Riau sangat belakangan diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Di antaranya adalah jalan yang membentang antara Sei Lekop, Batoe Hadji (Batuaji), Tiban, Keranji dan Telok Senimba. Begitu pula jalan dari Tiban ke Sungai Panas dan Kampung Belian. Selain itu jalan dari Senggoenoeng ke arah Telok Tering serta Asiamkang. Bahkan bentangan jaringan jalan tanah dari Sungai Panas ke arah Kangboi melewati bagian Selatan Bukit Ladi arah Batoe Hadji yang diikuti jaringan jalan dari Duriangkang ke arah Tiban dibuat tanpa terputus.
Penentuan momen ini bukan kerja main-main dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Raja Isa-lah yang pertama sekali menyusun pola pemerintahan dan perencanaan pembangunan yang sistemik di Pulau Batam. Dari jurnal De Battam Archipel yang dibuat seorang ambtenaar pemerintah kolonial Belanda bernama J.G. Schot pada 1882 misalnya diuraikan, lebih dari lima dasawarsa sejak Raja Isa memerintah (wafat 1831), sebuah perencanaan matang untuk membuat jaringan jalan yang menjadi penghubung kampung-kampung di Batam sudah selesai dikerjakan.
Tentang Batam masa lalu kurang dianggap penting sampai orang-orang berkompeten semua mulai sibuk mencari referensi ilmiah dan abstraksi empiris untuk menentukan Hari Jadi Pulau Batam. Sebuah manuskrip yang lama tersimpan bercerita tentang Pengukuhan Raja Isa sebagai pemegang mandat atas Nongsa dan rantau sekitarnya oleh Sultan Riau Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau (YDMR) pada tarikh 22 Jumadil Akhir 1245 Hijriah bertepatan 18 Desember 1829 Miladiah. Daulat Raja Isa terhadap Nongsa lebih dari seabad sebelum Indonesia mardeka menjadi pijakan historis yang kukuh lahirnya Pulau Batam.
Batam ketika itu juga sudah dimekarkan menjadi tiga bagian, selain Nongsa yang otonom ada dua wakilscap yakni Pulau Buluh, Belakang Padang dan sekitarnya serta Wakilscap Sulit, terdiri dari pulau-pulau kecil meliputi Kepala Jeri, Kasu, Sugi, Moro, Sanglar dan lain – lain yang langsung di bawah kendali YDMR Raja Muhammad Yusuf di Penyengat.
Untuk sedikit menjawab enigma para kaum urban tentang Batam masa lampau, dalam tulisan ini secara kronologis alur bentang sejarah Batam dapat dipaparkan sebagai berikut:
FASE PRA KEMERDEKAANÂ
Embrio Batam – Zaman Pra Sejarah
Belum ditemukan bukti-bukti empiris tentang adanya manusia pra sejarah yang mendiami Pulau Batam. Namun wilayah ini amat berhampiran dengan Selat Malaka yang menjadi bagian penting dari bentangan Nusantara. Kira-kira 1,7 tahun yang lalu Nusantara mulai memasuki garis waktu pra sejarah yang tercatat sebagai literasi arkheolog.