Melanjutkan series yang sebelumnya, hanya saja kali ini berbeda serinya yaitu tentang cerita lika liku pemilik bisnis langsung dari para pemiliknya [tanpa ditutupi]. Bisnis selalu punya cara sendiri untuk bercerita, khususnya mereka yang bergerak dari bisnis kecil, menengah hingga ke level lebih besar, saya menuliskan khusus sisi dimana mereka yang sedang merintis hingga masuk ke tahap bisnis yang sedang membentuk nama mereka.Â
Memang sebenarnya ada yang bisa dibahas dari sisi lain, misalnya bagaimana perusahaan korprasi mengelola bisnis mereka, skala besar dan lebih serius. Namun, bapak Ciputra Entrepreneur sekalipun menulis dalam biografinya, bahwa perjalanan besar dimulai dari langkah kecil, orang-orang yang sudah mengetahui nama-nama bisnis itu, tidak semua tahu bagaimana proses dibalik pembentukan brand itu, hal itulah yang perlu diangkat kembali lebih dalam.Â
Hari ini, salah seorang business owner restoran mengabari bahwa mereka ingin menjual bisnis mereka, karena tidak tahu mereka apakah ingin melanjutkan apa tidak.Â
Saya memahami, bagi mereka yang tahu bagaimana posisi business owner/founder mereka tentu terus berpikir atau mungkin lebih sering berpikir daripada yang lainnya. Termasuk berpikir mereka membiayai utilitas, hingga semua stakeholder mereka. Tidak semua hal akan diceritakan, tapi saya mencoba mendengar bagaimana perjalan mereka sejak pandemi hingga sekarang.Â
Lalu saya bilang, kita coba sekali lagi. jika ini gagal silahkan, saya mencoba memberi sebuah hal, bukan semangat namun lebih ke sudut pandang lain apa yang membuat bisnis mereka tidak menarik, ini mungkin sebenarnya tampak lebih sulit karena kita perlu memposisikan diri sebagai pendengar tapi juga perlu punya solusi untuk mereka dari sisi praktis, tentu tidak semua solusi itu baik sehingga ini bisa jadi bahan diskusi bisa saran atau masukan yang menghasilkan ide-ide baru nantinya. Hampir beberapa percakapan inti dari permasalahan mereka adalah, belum bisa menjelaskan keunikan bisnis mereka dibanding yang lainnya, jika melihat dari kasus sejenis ini, saya jadi teringat salah satu kalimat dalam buku Simon Sinek yang menyatakan; salah satu masalah utama dalam bisnis adalah tentang menjelaskan dirinya kepada pelanggan mereka, sebanyak apapun mereka punya sesuatu tapi jika mereka tidak berhasil menemukan siapa konsumen mereka akan gagal.Â
Memang hampir kebanyakan business owner, memiliki natural mindset egosentris karena memang mereka bermindset "memiliki" yang artinya semua hal yang ada mereka perlu atur sesuai pikiran dan keinginan mereka, pertanyaanya adalah "apakah pikiran konsumen mereka sama dengan business owner tersebut?" kan tidak juga, beruntunglah jika sama, tapi jika tidak? bisnis akan tetap menjadi pemilik yang punya, bukan pemilik konsumen.Â
Saya coba lanjutkan cerita tadi, lalu business owner tersebut mau mencoba sekali lagi dan berkata "Bismillah" kita coba lagi, kami mencoba melihat dari sisi luar, apa yang membuatnya tidak menarik, satu hal yang kami temui adalah "mereka tidak mencoba hadir dalam media online" maksutnya, mereka ada lokasi fisiknya, namun mereka mungkin belum memahami, bahwa ada banyak orang sedang mencari sesuatu di internet setiap detiknya, jika mereka tidak ada di internet mereka akan tertinggal.Â
Adapun yang mereka tawarkan adalah tetangga mereka diarea lokasi bisnis, ya tentu semua tetangga mereka sudah tahu mereka punya restoran, tapi mereka lupa apakah iya setiap hari tetangga mereka membeli makanan direstoran itu?Â
Mungkin mereka punya banyak saudara yang datang untuk makan bersama direstoran itu, ya benar. Pertanyaanya, apakah akhirnya saudara yang menjadi pelanggan kita dan apakah setiap waktu mereka datang? tentu tidak.
Disinilah pentingnya "Customer Acquisition" apa itu? belajar untuk menemukan konsumen kita selain dari yang kita kenal, ya konsumen baru, mereka akan lebih objektif dalam menilai, apakah masakan kita enak? apakah mereka punya kritik? apakah tempatnya nyaman dan lain sebagainya. Terlebih yang penting adalah apa yang value kita punyai? apakah tempatnya? apakah masakannya? atau hal lain yang menjadikan "alasan mereka datang".Â
Seperti pada tulisan saya di medium, tentu bagi yang sudah membacanya akan ingat, bahwa artikel yang saya tulis saat starbucks merilis versi minuman kemasan di gerai minimarket, dan sekarang kita bisa cek starbucks versi minuman itu sudah TIDAK ADA. kenapa?Â
Sedikit saya sadur dari tulisan saya di medium, yang membuat minuman kaleng itu bukan starbucks tapi nestle, kita tahu kan bahwa nestle punya banyak minuman salah satunya Nescafe. Sekarang rekan-rekan bisa cek digerai minimarket, semua produk nesface stoknya meningkat dan berbagai variasi.Â
Hal yang dilakukan starbucks waktu lalu adalah melihat bagaimana respon market, apakah ini layak dilanjutkan apa tidak, apakah hanya heboh diawal atau memang akan berkelanjutan.
Ternyata hasilnya adalah, konsumen starbucks loyalitasnya tetap pada gerai starbucks, mereka datang karena sesuatu pengalaman yang disebut customer experience, hal itu yang tidak bisa diwakilkan di kemasan botol mereka.
Nah, memang nyatanya kesulitan utama adalah tentang kita perlu validasi terlebih dahulu, apakah ini benar-benar dibutuhkan? sebelum kita benar-benar membuat bisnis tersebut nyata. Dan validasi terbaik disebutkan oleh peter ducker adalah dari suara konsumen yang memang jadi segmentasi kita.Â
Jika kita kembali ke kasus bisnis resto diatas, kita perlu membaca lagi, selama ini bagaimana pelanggan mereka menemukan mereka? bagaimana mereka datang? apa yang mereka sukai dari restoran itu? apakah mereka mau datang lagi? disitulah pentingnya riset, kita ingin lebih dalam menggali apa yang mereka tidak sampaikan secara lisan, mereka akan nyaman menyampaikan aspirasi mereka dengan jujur tanpa mereka diketahui identitasnya.Â
Bisnis harus mau dikritik dan itu bagian dari proses pembentukan lebih baik, incase misal hasilnyapun tidak menyenangkan setidaknya bisnis tersebut tahu apa alasan mereka membeli, apa alasan mereka tidak kembali atau apa alasan mereka datang lagi. Sehingga mereka tahu apa kelebihan bisnis mereka, kekurangannya untuk diperbaiki.Â
Tapi kembali lagi, semua ini harus dieksekusi oleh para pemilik bisnis, tanpa adanya eksekusi maka akan terlewat begitu saja. Dan singkat cerita, mereka menjadi lebih sadar bahwa di era digitalisasi sekarang "ditemukan pelanggan" itu menjadi penting, tidak semua teman WhatsApp mereka melihat apa yang mereka promosikan setiap harinya (misal jika yang melihat hanya 50 orang atau bahkan 20 saja).
Dan sebagai penutup, saya mengambi intisari buku Seth Godin seorang pakar. Bahwa, Kita tidak akan terlihat jika kita tidak belajar untuk melihat, hal itu relevan dengan yang disampaikan Steve Jobs dalam Genius Marketing Risetnya, kenapa Apple tidak promosi di televisi steve? Dia menjawab, mereka bilang pada hasil riset mereka, bahwa orang-orang yang membeli produk Apple jarang nonton televisi, mereka ada ditempat lain. Statement itu bisa saja benar, atau memang Apple sengaja fokus kepada niche tertentu hal itu bisa dijadikan contoh kasus saja.Â
Terimakasih, salam Literasi. M. Nahrowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H