Kudus, sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan sejarah penyebaran Islam melalui Wali Songo, memiliki banyak warisan budaya yang tak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga dengan tradisi kuliner yang khas. Salah satunya adalah kerupuk rambak kulit kerbau, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner Kudus. Namun, di balik kenikmatan camilan ini, terdapat sebuah sejarah yang erat kaitannya dengan toleransi agama dan kearifan lokal, yang berawal dari keputusan Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi dalam ibadah qurban sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Hindu.
 Sunan Kudus dan Toleransi Agama
Pada abad ke-15, Sunan Kudus, yang merupakan salah satu dari Wali Songo, berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa, khususnya di Kudus. Selain dikenal sebagai seorang ulama besar, Sunan Kudus dikenal pula dengan pendekatan dakwahnya yang sangat menekankan nilai-nilai toleransi antar agama. Sebagai contoh, dalam perayaan Idul Adha, Sunan Kudus memutuskan untuk tidak menyembelih sapi, hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu yang tinggal di sekitar Kudus. Sebagai gantinya, beliau memilih kerbau sebagai alternatif untuk qurban.
Keputusan ini bukan hanya menjadi simbol penghormatan terhadap umat Hindu, tetapi juga memengaruhi kebiasaan kuliner masyarakat Kudus. Daging kerbau mulai banyak digunakan dalam berbagai masakan khas Kudus, termasuk dalam pembuatan kerupuk kulit kerbau yang kini dikenal sebagai salah satu oleh-oleh khas Kudus. Kerupuk rambak kulit kerbau menjadi simbol keberagaman kuliner di Kudus, yang melibatkan pengaruh kuat dari sejarah sosial dan agama.
Kerupuk Kulit Kerbau: Asal Usul dan Sejarahnya
Kerupuk rambak, yang terbuat dari kulit kerbau yang digoreng hingga renyah, memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Sebagaimana dijelaskan dalam buku  "Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia" oleh Fadly Rahman, pada tahun 1930-an hingga 1940-an  masyarakat Indonesia menghadapi masa-masa kekurangan pangan yang sangat berat. Pada saat itu, kerupuk menjadi salah satu makanan yang paling mudah didapatkan dan menjadi simbol keprihatinan masyarakat. Kerupuk yang sederhana, terbuat dari bahan-bahan murah seperti singkong , dan ini menjadi menjadi salah satu sumber makanan yang mampu bertahan di tengah kesulitan ekonomi.
Fadly Rahman juga memaparkan dalam bukunya  bahwa kerupuk rambak, baik yang terbuat dari kulit sapi maupun kerbau, waktu itu hanya bisa dinikmati kalangan atas / bangsawan , Jadi meskipun pada zaman itu kerupuk adalah makanan yang identik dengan kalangan jelata, kerupuk rambak kulit sapi atau kerbau hanya disajikan di meja makan kalangan atas, termasuk di kalangan priyayi, terutama pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam buku, Fadly menambahkan bahwa pada masa kerajaan, rambak menjadi hidangan pelengkap yang sering disajikan ketika waktu makan tiba, mirip dengan kebiasaan masyarakat Indonesia sekarang yang menjadikan kerupuk sebagai teman makan sehari-hari.
Menurut catatan sejarah, kerupuk rambak sendiri sudah ada sejak zaman kerajaan Mataram Kuno. Dalam Prasasti Taji yang ditemukan di Ponorogo, yang berasal dari abad ke-9 hingga ke-10 Masehi, disebutkan bahwa kerupuk sudah digunakan sebagai bagian dari makanan tradisional. Perkembangan kerupuk ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di nusantara, termasuk ke Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Semenanjung Malaya (Wikipedia).