Mohon tunggu...
Mangara Maidlando Gultom
Mangara Maidlando Gultom Mohon Tunggu... profesional -

nil sitis nisi optimum (tidak ada tempat terbaik selain tempat pertama)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Presidensial Treshold

31 Desember 2014   22:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:04 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat ada sebanyak 6 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang mana 6 putusan tersebut MK tidak mengabulkan permohonan pengujian (ditolak) (Putusan MK Nomor 56/PUU-VI-2008, Putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2009, Putusan MK Nomor 4/PUU-XI/2013, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan Putusan MK Nomor 108/PUU-IX/2013). Pengajuan permohonan uji materiil tersebut tidak hanya pasal tunggal, tapi juga bersamaan dengan pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan lainnya.

Adapun dalam Pasal 9 UU Pilpres yang dimaksud mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Dan dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

MK tidak mengabulkan permohonan pemohon berdasarkan dalil bahwa ketentuan dalam Pasal 9 UU Pilpres merupakan legal policy (kebijaksanaan hukum) si pembuat undang-undang, atau dengan kata lain bahwa ketentuan tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dan ketentuan tersebut dianggap sah menurut konstitusi. Kebijaksanaan hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkuat posisi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dari sisi dukungan parlemen (20% kursi DPR) ataupun dukungan rakyat (25%) terhadap partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Meskipun terdapat kritik atas persentase jomplang (jika hanya ada 2 pasangan calon) tersebut. Seberapa kuat pengaruh Presiden dan Wakil Presiden terhadap 560 anggota DPR (112 pendukung terhadap 448 oposisi atau 20% pendukung terhadap 80% oposisi)? Atau seberapa kuat pengaruh Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan partai politik yang memperoleh 25% suara nasional? Sedangkan dari 75% sisanya bisa saja terdapat partai politik yang memperoleh lebih dari 25% namun melakukan koalisi (penggabungan dengan partai politik peserta pemilu lainnya).

Sebagai dasar pengujian, baiknya kita pahami dulu norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Di dalamnya telah diatur bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Untuk mempermudah, ketentuan tersebut dipecah dalam beberapa frasa yakni “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden”, “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”, dan “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pada frasa pertama adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yang tentunya pasangan calon tersebut adalah pasangan calon yang telah ditetapkan oleh badan/lembaga yang berwenang untuk menetapkan.

Badan/Lembaga mana yang menetapkan? Adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai penyelenggara pemilihan umum sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”, yang kemudian dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU PPU) diatur bahwa yang dimaksud sebagai penyelenggara pemilu adalah KPU dan Bawasalu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih calon-calon DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Dan kewenangan KPU diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf g UU PPU bahwa “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi: menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi persyaratan”. Ketentuan mengenai penetapan peserta pemilu legislatif kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 17 UU Pileg, dan mengenai penetapan peserta pilpres dipertegas lagi dalam Pasal 21 ayat (1) UU Pilpres.

Frasa berikutnya adalah “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Bahwa pasangan calon tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, artinya cukup oleh satu partai politik saja bisa mencalonkan pasangan calon dimaksud. Tentunya partai politik yang dimaksud adalah partai politik peserta pemilu. Kata “atau” memiliki definisi “kata penghubung untuk menandai pilihan di antara beberapa hal (pilihan)”, atau dapat disebut dengan frasa alternatif. Penggunanya dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan salah satu dari pilihan yang tersedia.

Kembali pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan pada frasa pertama, badan/lembaga mana yang berwenang menetapkan partai politik mana yang menjadi peserta pemilu? Badan/lembaga yang berwenang menetapkan partai politik mana yang menjadi peserta pemilu adalah KPU, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g bahwa “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD meliputi: menetapkan peserta pemilu”. Harus dibedakan norma “peserta pemilu” bahwa peserta pemilu pilpres adalah perorangan yang diusulkan oleh partai politik. Sedangkan peserta pemilu legislatif adalah partai politik, perorangan dari partai politik, dan perorangan independen untuk calon anggota DPD. Jadi, yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik yang merupakan peserta pemilihan umum untuk itu. Konteks pemilu yang saya gunakan saat ini adalah pemilu yang dipecah (konsep nyeleneh legislatif), bukan pemilu yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Dan frasa yang terakhir adalah “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, cukup jelas. Maka, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik ditetapkan oleh KPU sebelum pelaksanaan pemilu. Jika mengikuti konsep pemilu terkini, di antara penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pilpres lah waktu yang dimaksud untuk mengusulkan pasangan calon.

Selanjutnya mengenai ketentuan yang diperdebatkan, dan diajukan ke MK untuk diuji kekuatan hukumnya, yaitu Pasal 9 UU Pilpres. Pola yang digunakan dalam menafsirkan ketentuan adalah sama dengan pola di atas, yakni dengan memecahkan kalimat menjadi 6 frasa, yaitu:


  1. pasangan calon;
  2. diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu;
  3. yang memenuhi persyaratan;
  4. perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional;
  5. dalam Pemilu anggota DPR; dan
  6. sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.


Masuk ke pembahasan frasa per frasa:

Frasa "pasangan calon"

Cara memperoleh norma yang terkandung sama dengan penafsiran mengenai frasa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden" di atas, yakni pendekatannya dengan menggunakan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 8 ayat (2) huruf g UU Pilpres.

Frasa "diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu"

Penjelasan kata "atau" dalam frasa ini sudah dijelaskan sebelumnya, frasa model ini bisa disebut dengan frasa alternatif. Cara memperoleh norma frasa ini pun sama dengan frasa sebelum ini. Untuk partai politik yang ingin mengusulkan pasangan calon secara mandiri atau sendiri harus mengikuti ketentuan pilihan penggunaan persyaratan sebagaimana yang diatur pada frasa nomor 4 (20% kursi DPR atau 25% suara nasional), begitu juga dengan partai politik gabungan (koalisi). Atau dengan singkatnya, yang menjadi tolok ukur adalah pilihan persentase yang ditentukan pada frasa nomor 4, entah partai politik itu mengusulkan sendiri ataupun dengan cara berkoalisi.


Frasa "yang memenuhi persyaratan"

Sekiranya frasa ini sudah cukup jelas, yaitu frasa penghubung dan menegaskan bahwa persyaratan yang dimaksud hanyalah minimal 20% kursi DPR atau 25% suara nasional dalam pelaksanaan pemilu legislatif.


Frasa "perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional"

Dalam menafsirkan frasa ini, salah satu yang dijadikan pertanyaan adalah "jumlah kursi DPR", jawabannya ada dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Legislatif), yaitu 560 kursi. Maka, 20% dari 560 adalah 112 kursi DPR. Kemudian mengenai "suara sah nasional" tentunya merujuk pada suara sah nasional dalam pemilu legislatif. Maka penghitungannya tinggal menunggu hasil pengumuman resmi KPU mengenai jumlah suara pemilih nasional, kemudian dikalikan dengan 25%.


Frasa "dalam Pemilu anggota DPR"

Frasa ini cukup jelas, yang dimaksud dengan pemilu anggota DPR adalah pemilu legislatif sebagaimana yang diatur mengenai pelaksanaannya dalam UU Pileg.


Frasa "sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden"

Frasa ini cukup jelas, yang dimaksud dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pemilu yang dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilu ini dilaksanakan setelah pemilu legislatif selesai, sesuai dengan yang ditetapkan oleh KPU.


Sekiranya dari penjelasan sederhana dan singkat tentang frasa per frasa di atas, penafsiran terhadap ketentuan Pasal 9 UU Pilpres dapat dibayangkan komposisinya. Sekali lagi, konsep pemilu yang digunakan adalah konsep pemilu yang dipecah peruntukkannya sebagaimana yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 lalu, yang merupakan hasil kreasi jenius si pembuat undang-undang yang nyeleneh.

Jadi, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik (boleh mandiri, boleh juga gabungan) peserta pemilu, dengan syarat partai politik tersebut memperoleh kursi paling sedikit 20% di DPR atau partai politik tersebut memperoleh suara minimal 25% dari suara sah pemilih nasional dalam pemilu legislatif. Perincian mengenai pilihannya seperti ini: jika partai A ingin mengusulkan pasangan calon, maka partai A harus mendapatkan minimal 112 (hasil dari 20% X 560) kursi di DPR. Hasil tersebut tentunya berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Legislatif). Atau partai A memperoleh dukungan dari 25% pemilih nasional dalam Pileg.

Kemudian berdasarkan penjelasan di atas, terjadi perbedaan antara yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 9 UU Pilpres. Pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan bahwa hanya partai politik peserta pemilu saja yang berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, partai politik tersebut boleh mengusulkan secara sendiri ataupun secara bersama-sama dengan partai politik peserta pemilu lainnya (koalisi). Atau sederhananya, ketika suatu partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU, maka partai politik tersebut berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, entah mau sendiri atau gabungan. Perihal sendiri atau gabungan merupakan kebijakan strategi tersendiri di internal partai politik dalam menghimpun dukungan rakyat. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 9 UU Pilpres malah mempersulit partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, ketentuan ini dinamakan dengan presidential treshold.


Penutup dan Kesimpulan


Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 bahwa "Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang". Ketentuan pasal ini dimaksudkan agar tidak ada ketentuan lain yang posisinya sejajar atau memberikan ruang penambahan syarat/ketentuan yang diatur di ayat-ayat dalam Pasal 6A. Hal tersebut tentunya sejalan dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan yang lebih tinggi mengenyampingkan aturan yang lebih rendah, atau hierarkis. Di Indonesia, pengaturannya ada dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Legal Policy atau kebijaksanaan hukum yang dibuat oleh si pembuat undang-undang merupakan hal yang teknis, dan tidak boleh berdiri sejajar dengan ketentuan yang diatur pada peraturan yang lebih tinggi. Ketentuan presidential treshold seharusnya diatur dalam UUD 1945, jika ingin digunakan sebagai sebuah kesepakatan umum.

MK yang tidak berani mengabulkan permohonan untuk memutuskan bahwa Pasal 9 UU Pilpres tidak berkekuatan hukum tetap dan bertentangan dengan UUD 1945 dapat disimpulkan dari "terikat"-nya para hakim MK kepada lembaga kekuasaan yang mengajukannya sebagai hakim MK. Dapat dilihat dari komposisi hakimnya yang berjumlah 9 orang, terdiri atas 3 orang yang diajukan oleh DPR (legislatif), 3 orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung (yudikatif), dan 3 orang yang diajukan oleh Presiden (eksekutif). Terdapat 3 orang hakim karir, dan 6 orang hakim non-karir. Dari keenam orang hakim non-karir itu diusulkan oleh kekuatan partai politik, yang tentunya mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu untuk waktu tertentu (mayoritas, dan realistis terhadap dinamika kontestasi politik tanah air waktu ke waktu). Tentunya yang mengajukan hakim mempunyai kriteria tertentu di luar peraturan perundang-undangan dalam menentukan pilihan

Baiknya untuk memberikan kesempatan bagi para guru besar di berbagai perguruan tinggi menjadi hakim MK, tentunya dengan spesifikasi background tata negara. Caranya bukan dari eksekutif maupun legislatif yang memilih, namun para guru besar tersebutlah yang mengajukan diri. Kemudian sebagai tim seleksi diberikan kepercayaan kepada semacam forum guru besar tata negara yang disumpah, demi menjaga idealitas (muruah) konstitusi atau ketatanegaraan di Indonesia. Karena MK sudah tercoreng dengan adanya fakta bahwa hakimnya yang berstatus aktif telah "berhasil" menggunakan baju KPK yang mahal itu, lembaga mana yang mengajukan? Dan fakta putusan MK mengenai pelaksanaan pemilu serentak di tahun 2019 (padahal sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kalau mau bicara stabilitas juga tidak masuk akal karena rakyat yang berkali-kali disusahkan dengan beraneka fakta ya tetap aja negara ini masih stabil), serta PK yang boleh dua kali.


juga dapat diakses ke laman: http://pascasarjana.uniba-bpn.ac.id/informasi/berita/40-sedikit-tentang-perdebatan-presidential-treshold.html






Balikpapan, 9 Juni 2014

Di bilikku yang pengap

karena berbatang-batang rokok

yang kuhisap penuh penghayatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun