Penguatan karakter sebagai tujuan pendidikan nasional masih menghadapi tantangan serius. Diperlukan terobosan baru dan berani untuk menempatkan siswa sebagi pusat pembelajaran, dan transformasi peran guru yang tak hanya mengajar.
***
Kurikulum Merdeka merupakan terobosan dalam penguatan karakter. Misalnya, dalam pembelajaran berbasis proyek yang diwujudkan dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Prinsip ini selaras dengan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Global (PKG) UNESCO yang membagi tiga domain pembelajaran, kognitif---pengetahuan dan keterampilan, sosio-emosional---nilai, sikap dan keterampilan sosial, dan perilaku---tingkah laku, dan kinerja.
Namun, praktik P5 masih menunjukkan siswa berjarak dengan realitas sosial. Pengetahuan dan keterampilan masih bersumber dari buku ajar. Penciptaan karya dalam panen pembelajaran, bukan dari kepedulian, ketertarikan, dan kegelisahan siswa.
Menggeser Paradigma
Ceruk masalah Kurikulum Merdeka dalam penguatan karakter semakin melebar, karena secara paradgimatik masih menyesuaikan capaian pembelajaran dengan kepentingan pasar-industri, pendidikan berdasarkan permintaan pasar (demand-driven).
Pendidikan semacam ini berujung pada penempatan siswa sebagai obyek pembelajaran. Pendidikan menyiapkan tenaga kerja agar siap masuk dunia industri-kapitalis. Siswa diproyeksikan sebagai pekerja siap pakai. Menjadikan negeri ini sebagai penyuplai tenaga kerja, bukan penyedia para pembuat, para kreator berbagai lapangan kehidupan.
Merdeka Belajar terjebak pada slogan, menggambarkan siswa belajar dengan merdeka, bebas menentukan subyek belajarnya. Padahal tak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan siswa. Mereka tidak memiliki kesempatan mengenali lingkungannya, memahami persoalan dan potensi masyarakat.
Siswa tak mendapat kesempatan memahami kenapa sungai keruh, Jakarta dilanda polusi udara. Siswa tak bisa memahami jenis pohon yang menghilang, dan ragam obat-obatan dari tanaman di tempat tinggalnya. Mereka tak tertarik memikirkan langkanya bakul jamu gendong.