Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Tak Perlu Khawatir, Jadilah Seorang Kawan

7 November 2022   09:40 Diperbarui: 7 November 2022   09:56 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Foto Alice Bitencourt dari Pixabay 

Meski sudah tahu pasti, orang tua tetap merasa gagap saat mengetahui anaknya pacaran. Sebagian besar dari mereka lebih dikuasai pemikiran negtaif, galau, gelisah, dan takut. Overthinking. Hanya sedikit dari mereka yang berpikiran positif, dan menganggap pacaran sebagai fenomena wajar yang memang mesti dilalui anaknya yang beranjak remaja.

Kegagapan orang tua, setidaknya karena citra buruk pacaran yang bersumber dari berbagai informasi di media tentang fenomena negatif di kalangan remaja yang berpacaran. Atau bisa jadi juga, ketakutan itu berasal dari dalam diri mereka sendiri karena pengalaman buruk semasa pacaran. Mereka tak ingin situasi tak menyenangkan itu terjadi pada anak-anak mereka. 

Ketakutan dalam pikirannya, mewujud menjadi sikap kehati-hatian yang berlebihan, dan mewujud dalam tindakan yang bersembunyi pada alasan melindungi anak-anak remajanya dari dampak negatif pacaran. Pada tahap paling sederhana mewujud dalam berbagai nasihat dan membiarkan anak remaja itu terus berpacaran, dan pada ujung paling mentok kanan berbentuk pelarangan pacaran dengan berbagai atraksi ancaman: bisa sakit hati sampai berdosa dan masuk neraka.

Sikap dan tindakan orang tua ini tentu saja tidak bijak. Orang tua yang hanya mau menangnya sendiri, dan tak mau mengerti mengenai perkembangan jiwa remaha, yang dulu ia pun mengalaminya. selain itu, sikap buruk ini akan melahirkan konflik berkepanjangan, permusuhan antara orang tua dan anaknya. Lalu akan membuat anak-anak remaja bermasalah dalam pergaulan, dan juga dengan proses belajarnya.

Mengubah Mindset

Orang tua sudah saatnya mengubah mindset tentang remaja yang dibesarkan oleh teknologi informasi. Mereka hidup dalam ketelimpahan informasi, sehingga cukup memiliki bekal sebagai remaja yang memiliki prinsip-prinsip dalam hidupnya. Remaja saat ini juga sudah mengakses berbagai informasi mengenai menjadi remaja yang bertanggung jawab, remaja yang bisa menentukan pilihan-pilihan positif dalam menjalani masa remaja.

Dengan remaja saat ini telah memiliki bekal yang cukup untuk menghindarkan diri dari sikap-sikap pembodohan dan tindakan-tindakan yang merusak masa depan mereka sendiri dengan perilaku-perilaku negatif, seperti konsumsi alkohol dan obat-obat terlarang lainnya. Jika ada remaja yang ternyata memiliki perilaku buruk, maka orang tua harus segera melakukan instrospeksi diri tentang pola asuh dan pola pendidikan anak dalam keluarga.

Perubahan mindset ini akan membawa sikap dan tindakan positif orang tua saat mengetahui anak remajanya sudah mulai pacaran. Orang tua pun kemudian akan terhindar dari berbagai hantu yang menakutkan dalam pikirannya, ketakutan yang ia bangun dari bayangan-bayangan mereka sendiri. Dari asumsi yang miskin dasar argumentasi.

Dialog

Orang tua perlu mengajak dialog dengan anak remajanya yang sedang pacaran, temasuk dengan pacarnya. Dialog akan membangun komunikasi yang berkualitas, dan menjauhkan dari terjadinya konflik antara orang tua dan anak remajanya. Dalam perbincangan santai seperti seorang teman, bukan sedang menasihati, orang tua bisa memasukkan berbagai nilai dan prinsip penting dalam membangun relasi selama masa pacaran. 

Misalnya, mengenai pemaknaan terhadap cinta dan kasih sayang. Sampaikan kepada pasangan remaja yang sedang mabuk kepayang itu, cinta harus memberikan rasa nyaman terhadap pasangannya, cinta itu memberi perhatian, memberik kasih sayang, bukan meminta dan menuntut, apalagi yang akhirnya akan merugikan salah satu di antara mereka sendiri. Jika ini terjadi makan bukan lahi cinta yang penuh kasih, tetapi hasrat untuk menguasai dan menang sendiri. Egoistik.  

Nilai saling menghargai dan menghormati pribadi masing-masing dan tak hendak menyakiti akan menjadi pondasi terhindarnya pasangan remaja itu dari situasi buruk yang mungkin saja terjadi. Sebut saja, tindakan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dalam bentuk yang paling ringan seperti melakukian pemaksaan tindakan seksual, seperti meraba payudara, menciup paksa, memeluk paksa, sampai yang terberat melakukan tindakan penetrasi vaginal dengan paksa.

Pastikan kepada pasangan remaja itu, semua tindakan pemaksaan dalam masa pacaran sama sekali tidak bisa dibenarkan sebab itu menjadi bagian dari bentuk kekerasan: fisik dan non fisik. Apalagi saat memaksakan tindakan seksual penetrasi vaginal, sangat memungkinkan terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Kejadian ini tentu saja akan memengaruhi masa depan remaha perempuan. 

Berbagai tindakan itu bisa masuk dalam kategori kekerasan dan bisa menjadi urusan hukum. Katakan juga, bulkankah tujuan awal menjalin cinta kasih itu untuk saling memberikan perhatian, menyayangi, dan saling memberikan motivasi dan semangat dalam belajar. Bukan saling merugikan dan bahkan menyakiti kekasihnya.

Sekarang, sudah bisakah para orang tua merasa tenang saat anaknya mulai pacaran?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun