Gerakan Pramuka sudah nyaris tergusur di tegah berbagai perubahan sosial yang terus terjadi dengan cepat. Sedikit kalangan muda yang berminat melanjutkan aktivitasnya dalam kancah kawah candradimuka Pramuka.Â
Bahkan, seakan-akan hanya tinggal kenangan indah dan menyenangkan. Meski sudah diselamatkan dengan ketentuan kegiatan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah, tampaknya Pendidikan Pramuka kian menjauh dari tujuan utamanya.
Padahal, Gerakan Pramuka memiliki tujuan luhur dalam ikhtiar mambang generasi muda yang berkarakter dan berkepribadian Indonesia sebagai manusia Pancasila.Â
Lihat saja alam Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2010 disebutkan Gerakan Pramuka bertujuan untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup.
Secara konseptual untuk mencapai tujuan itu, Pendidikan Kepramukaan diarahkan sebagai proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka (sebutan untuk anggota Gerakan Pramuka) melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan.
Ada 9 (sembilan) nilai-nilai kepramukaan, antara lain, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecintaan pada alam dan sesama manusia, kecintaan pada tanah air dan bangsa, tolong-menolong, bertanggung jawab dan dapat dipercaya, dan jernih dalam berpikir, berkata, dan berbuat.
Contoh ini menunjukkan dengan jelas, bagaimana pendidikan kepramukaan sedang menciptakan generasi berkualitas unggul, berkarakter, dan memiliki cinta kepada negara, sesama manusia, dan semesta. Ini sama persis dengan tujuan yang hendak dicapai melalui kurikulum Merdeka dengan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Akar Masalah
Hilangnya nilai-nilai kepramukaan, dan menempatkan pendidikan kepramukaan (di lapangan lebih akrab disebut dengan istilah 'latihan') pada kegiatan fisik semata-mata memiliki beberapa akar penyebabnya. Pertama, proses pendidikan kepramukaan pada level bawah pelaksanaannya diserahkan kepada pembina yang berasal dari kakak kelasnya.Â
Misalnya, pendidikan kepramukaan di tingkat SD yang melatih kakak kelas yang sudah lulus atau duduk di bangku SMP, dan seterusnya. Dari sisi keterampilan mungkin saja terjadi penurunan kualitas, tetapi prosesnya akan kehilangan kerangka filosofis dan nilai-nilai kepribadiannya.