Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Laki-laki yang Memilih Dibohongi

24 Juli 2022   11:06 Diperbarui: 24 Juli 2022   11:10 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fikisana. Foto: Dariusz Sankowski dari Pixabay 

Rio meluruskan posisi duduknya, berharap mendapatkan suasana jiwa yang lebih membaik. Tak pantas rasanya memikirkan terus menerus kenangan masa lalu. Cukuplah dikenang, bukan dipikirkan. Karena memang begitu yang bisa dilakukan.

Rio menganggap hanya kebohongan besar ketika ada orang yang mengatakan mampu melupakan masa lalu. Hanya ketidakjujuran yang bisa melakukannya. Pengalaman tak akan pernah bisa disingkirkan. Tak akan pernah ada yang boleh menyalahkan. Semuanya milik orang per orang, dan akan menjadi milik yang paling pribadi dan abadi. Tak ada yang bisa mengubahnya, bahkan Tuhan sekalipun, apalagi manusia-manusia, sekali-sekali tidak akan bisa melakukannya.

Meskipun begitu yakinnya, Rio sendiri tak pernah memiliki nyali mengatakan dengan jujur kepada istrinya tentang kenangan cintanya. Rio tak pernah mengatakan, jika di masa lalu, ia pernah juga menyukai perempuan selain istrinya yang sekarang.

Ia pernah mencintai Tati, perempuan usia belasan yang pernah menggetarkannya saat masa remajanya. Ketika ia masih begitu muda, masih duduk di kelas SMP dan Tati duduk di kelas 6 SD. Seingat Rio, ia belum disunat pula. Cinta monyet kata orang. Tetapi sungguh sangat mencengkeram batinnya.

Cinta yang tumbuh di tengah-tengah aturan larangan berpacaran di Pesantrennya. Cinta yang tulus tanpa gejolak birahi yang meliputinya. Putus cintanya, menderita jiwanya, karena Tati tidak lagi melanjutkan SMP di Pesantren itu. Alamak, sederhana sekali alasannya.

Kalau mau jujur juga, Rio pernah menjalin cinta dengan teman sekelasnya semasa SMA, namanya Sagita. Gadis pendiam dan sangat alim. Rio memakluminya, karena paman Sagita Kiai tersohor yang memimpin Pesantren di tetangga desanya. Santrinya saja mencapai tiga ribuan jumlahnya. Lebih besar dibandingkan dengan Pesantren tempat Rio nyantri.

Cintanya begitu menggebu, tetapi jujur saja, dan kadang ini yang menjadi penyesalan seumur-umur. Pasalnya, selama pacaran dengan Sagita, tak pernah sekalipun menciumnya. Paling banter, memegang-pegang jemarinya, yang baru saja dipotong kukunya. Ia sudah puas, ia sudah bahagia. Padahal, kata teman-teman sebayanya, kalau mereka bertemu dengan pacarnya, tidak saja mencium bibir, tetapi juga meraba-raba dadanya, meremas payudaranya.

Meski iri, Rio selalu membela diri, "pacarku kan keponakan kiai besar," katanya Tetapi ada rasa masam yang mengembang begitu besar dalam batinnya. Terkadang ia ingin sekali berbohong agar statusnya sederajat dengan teman sebayanya, pernah mencium Sagita, pernah mengulum bibirnya dan memainkan lidah di mulutnya. Tetapi Rio tak pandai mengarang, tak pandai berbohong. Rio tak pandai membuat-buat sesuatu yang tak pernah dilakukannya.

Akhirnya, ia terima saja, kalau pacarannya dengan Sagita dinilai kuno oleh teman-temannya. Tak apa, Rio terima semuanya. Karena memang itu kenyataannya.

"Rugi, pacaran kok hanya pegang jari dan lihat kuku, hahahha...," kata Sholeh, teman sebelah kamarnya di asrama Pesantren terasa mengejeknya.

Pacar Sholeh memang manis, punya hidung mancung, tubuhnya ideal. Maklum, ibu pacarnya itu perempuan Arab, menikah dengan laki-laki Jawa tulen. Makanya mereka terusir dari keluarga besarnya. Bahkan pacarnya juga terlarang menggunakan marga keluarga kakeknya dari ibu.

Dikipas-kipasi seperti itu, Rio biasanya hanya menjawab, "biarin. Setiap orang berpacaran memiliki prinsip yang berbeda."

"Ah, sok suci ente."

"Bagi ane, Leh..., pacaran itu bukan mengumbar nafsu syahwat, tetapi mendorong semangat belajar. Biar tahan tidak tidur malam saat menghafal Alquran," kata Rio membela diri dari serangan Sholeh yang bertubi-tubi menjatuhkan martabat kelelakiannya. Ketidakberdayaan patriarkinya.

"Buktinya mana, ente menghafal Alfiyah saja baru dapat 250 bait, kagak nambah-nambah," kata Sholeh.

"Alquran, ente juga baru setor 4 juz. Ane yang pacaran pakai ciuman dan pegang payudara, sekarang sudah setoran 15 juz, dan Alfiyah ane sudah 750 bait," lanjutnya.

Khayalannya tambah bikin tahan tidak tidur, Rio. Kalau pegang kuku, apa yang dikhayalin, kagak ada lanjutannya."

Rio mati kutu. Tak ada lagi yang bisa digunakan membela kenyataan yang dihadapi dalam masa pacarannya. Kalau memang Sagita tidak pernah mau melakukan ciuman, masa mau dipaksa-paksa.

Cinta kan tidak boleh ada paksaan, semuanya harus berjalan sesuai dengan kehendak bersama. Ketimbang setelah mencium besoknya langsung diputus, lebih baik memegang kuku tetapi tetap punya pacar. Itu prinsip yang dikembangkan Rio dengan segala kekalahan gaya pacaran teman-temannya di Pesantren.

Kalau untuk yang satu ini, Rio sangat jujur. Ia tak pernah mencintai atau berpacaran dengan Maemunah. Yang terakhir ini, sudah bersuami sebenarnya. Tetapi karena menikah muda, sehingga usianya bahkan lebih muda dibandingkan Rio sendiri.

Mereka sering tampak jalan bareng karena sama-sama menjadi panitia pembangunan masjid di desanya. Karena itu Rio digosipkan bermain api dengan Maemunah.

"Itu fitnah, fitnah kubro. Maemunah sudah bersuami," kata Rio ketika dipersoalkan panitia yang lain.

"Tetapi kata orang suaminya mandul dan Maemunah tak mencintainya lagi," lanjut teman yang lain memojokkan posisi Rio.

Yang lain bergeremeng dan saling pandang menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Rio.

"Ah, sudahlah, kalau tidak percaya, tanyakan sendiri ke Maemunah. Malas saya melayani gosip murahan seperti ini."

Lalu, apa yang salah dengan pengakuan pernah mencintai perempuan, sebelum mencintai istrinya sekarang. Rio juga tak pernah yakin, jika istrinya benar-benar percaya kepadanya setiap kali mengatakan, "tak pernah jatuh cinta."

Seperti juga Rio, lebih suka mendengar istrinya mengatakan, "engkaulah cinta pertama dan terakhirku," ketimbang mendengarkan kisah cinta istrinya di masa lalu.

Apalagi mendengarkan tentang bibir mungil istrinya pernah dicium laki-laki lain, seperti gaya pacaran Sholeh. Sungguh, Rio lebih merasa nyaman untuk dibohongi, ketimbang harus menerima kejujurannya.

Kebohongan itu terasa lebih menyelamatkan dirinya sebagai laki-laki. Sang pemilik perempuan, pasangannya, tanpa pernah tersentuh orang lain.

Bagi Rio, martabatnya sebagai laki-laki lebih terinjak ketika mendengar istrinya pernah berpacaran dengan orang lain, ketimbang ketika dirinya terjungkal, terseok-seok dibuat KO dalam pertandingan bulu tangkis di depan masjid kampungnya.

Ah, memang aneh arogansi laki-laki. Sama sekali sulit dimengerti, apalagi dipahami.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun