Pacar Sholeh memang manis, punya hidung mancung, tubuhnya ideal. Maklum, ibu pacarnya itu perempuan Arab, menikah dengan laki-laki Jawa tulen. Makanya mereka terusir dari keluarga besarnya. Bahkan pacarnya juga terlarang menggunakan marga keluarga kakeknya dari ibu.
Dikipas-kipasi seperti itu, Rio biasanya hanya menjawab, "biarin. Setiap orang berpacaran memiliki prinsip yang berbeda."
"Ah, sok suci ente."
"Bagi ane, Leh..., pacaran itu bukan mengumbar nafsu syahwat, tetapi mendorong semangat belajar. Biar tahan tidak tidur malam saat menghafal Alquran," kata Rio membela diri dari serangan Sholeh yang bertubi-tubi menjatuhkan martabat kelelakiannya. Ketidakberdayaan patriarkinya.
"Buktinya mana, ente menghafal Alfiyah saja baru dapat 250 bait, kagak nambah-nambah," kata Sholeh.
"Alquran, ente juga baru setor 4 juz. Ane yang pacaran pakai ciuman dan pegang payudara, sekarang sudah setoran 15 juz, dan Alfiyah ane sudah 750 bait," lanjutnya.
Khayalannya tambah bikin tahan tidak tidur, Rio. Kalau pegang kuku, apa yang dikhayalin, kagak ada lanjutannya."
Rio mati kutu. Tak ada lagi yang bisa digunakan membela kenyataan yang dihadapi dalam masa pacarannya. Kalau memang Sagita tidak pernah mau melakukan ciuman, masa mau dipaksa-paksa.
Cinta kan tidak boleh ada paksaan, semuanya harus berjalan sesuai dengan kehendak bersama. Ketimbang setelah mencium besoknya langsung diputus, lebih baik memegang kuku tetapi tetap punya pacar. Itu prinsip yang dikembangkan Rio dengan segala kekalahan gaya pacaran teman-temannya di Pesantren.
Kalau untuk yang satu ini, Rio sangat jujur. Ia tak pernah mencintai atau berpacaran dengan Maemunah. Yang terakhir ini, sudah bersuami sebenarnya. Tetapi karena menikah muda, sehingga usianya bahkan lebih muda dibandingkan Rio sendiri.
Mereka sering tampak jalan bareng karena sama-sama menjadi panitia pembangunan masjid di desanya. Karena itu Rio digosipkan bermain api dengan Maemunah.