Seperti biasanya, setelah kuliah Subuh di Masjid kampung, Kliwon tidak segera pulang. Ia duduk-duduk sejenak meluruskan kaki, meluruskan tulang belakangnya dan kadang tertidur sejenak. Pagi itu, Kliwon tak bisa tidur, sebab Kiai yang mengaji kebetulan teman kecilnya ketika di Pesantren, usianya sebaya tentu saja.
Abdurrahman, begitu nama teman Kliwon yang sekarang menjadi Kiai kondang di Kota Provinsi. Kegiatan hampir selalu dakwah dari satu kecamatan ke kecamatan lain, dari satu kabupaten ke kabupaten yang lain. Pesantren yang didirikan dikelola adiknya, yang katanya lulusan Al-Azhar, Kairo.
"Selesai puasanya, Won," kata Abdurrahman sambil duduk di samping Kliwon, setelah mempersilakan ta'mir masjid meninggalkannya karena ia akan ngobrol dengan teman masa kecilnya.
"Ya, belum to, man," ucap Kliwon.
"Lho, bagaimana sih?"
"Kan ini baru hari ke 28."
Mereka terbaha-bahak, bergembira setelah beberapa tahun terakhir ini mereka tak sempat bertemu. Biasanya, setiap tahun, Abdurrahman yang bersilaturrahmi ke rumah Kliwon. Merasa sedikit lebih muda saja, begitu ia selalu bilang kalau ditanya kenapa kiai yang datang, bukan Kliwon yang ke Pesantren.
"Puasa sudah hampir selesai," kata Abdurrahman.
"Ya, dan kita merasa belum mendapatkan apa-apa," kata Kliwon.
"Apa ada yang kamu cari, Won? Pahala yang berlipat ganda, bahkan seperti ibadah seribu bulan."
"Tidak. Sama sekali tidak,. Saya tidak merindukan janji seribu bulan. Itu hanya akan melencengkan kegaulan kita dengan Gusti, Man."
"Ini yang aku selalu harus mengaji sama kepadamu."
"Jangan menyindir."
"Padahal itu yang selalu digemborkan oleh para ustadz, ustadzah, nyai dan kiai, termasuk aku."
"Bukan soal salah, tetapi hanya menjauhkan dari diraihnya niat iklas karena lillahita'ala dan billahita'ala."
"Maksudmu?"
"Kita beribadah itu kan hanya bagi Gusti Alloh, tidak untuk pahala yang berlipat, tidak untuk kesedihan dan tidak untuk terpenuhinya harapan-harapan."
"Karena pengajian selalu dijanjikan pahala yang berlipat, dijanjikan dipenbuhi seluruh permintaan, orang bisa lalai, dan menyingkirkan Gusti dalam hatinya."
"Kalau kamu sendiri, Won."
"Aku merindukan Ramadan, karena saya merasa bisa lebih dekat dengan Gusti Alloh, aku bisa merasa benar-benar bisa berdialog dengannya."
"Di bulan Ramadan, aku merasa benar-benar berada dalam pelukanNya, dalam cintaNya."
"Tingkat tinggi, Won," kata Abdurrahman. Tetapi ia sendiri tahu, sejak di pesantren Kliwon memang pemikirannya tak bisa ditebak, berada di luar pemikiran teman-teman sebayanya. Dului, ia berpikir Kliwon akan menjadi kiai besar, kiai yang berpengaruh. Tetapi, entah lah, ia tak tahu, kenapa Kliwon justru hanya menjadi tukang panjat pohon kelapa, dengan kehidupan ekonomi yang pas-pasan?
Padahal, Abdurrahman tahu, kakek Kliwon itu kiai besar, bahkan jauh lebih terkenal ketimbang dirinya sendiri. Kakek Kliwon teman seperguruan dengan Kiai Madjid, pengasuh pesantren tempat ia dan Kliwon mengaji.
Abdurrahman tahu, Kliwon selalu saja lebih dulu paham ketika kiai menjelaskan, bahkan kadang-kadang melampaui apa yang dipikirkan dan disampaikan kiai. Ia berpikir, apakah Kliwon sedang menjalani laku tertentu, untuk kelak akan menjadi orang besar. Bayangkan, di bulan Ramadan ia merindukan kedekatan dengan Gusti Alloh, cara pandang yang jauh berbeda dengan kaum muslimin lainnya.
Pertanyaan Abdurrahman, memang tak pernah menjadi pertanyaan penduduk dusun Bluwangan. Sebab mereka tak mengerti siapa sebenarnya Kliwon yang tinggal didusun Bluwangan itu sebagai pendatang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H