"Ini yang aku selalu harus mengaji sama kepadamu."
"Jangan menyindir."
"Padahal itu yang selalu digemborkan oleh para ustadz, ustadzah, nyai dan kiai, termasuk aku."
"Bukan soal salah, tetapi hanya menjauhkan dari diraihnya niat iklas karena lillahita'ala dan billahita'ala."
"Maksudmu?"
"Kita beribadah itu kan hanya bagi Gusti Alloh, tidak untuk pahala yang berlipat, tidak untuk kesedihan dan tidak untuk terpenuhinya harapan-harapan."
"Karena pengajian selalu dijanjikan pahala yang berlipat, dijanjikan dipenbuhi seluruh permintaan, orang bisa lalai, dan menyingkirkan Gusti dalam hatinya."
"Kalau kamu sendiri, Won."
"Aku merindukan Ramadan, karena saya merasa bisa lebih dekat dengan Gusti Alloh, aku bisa merasa benar-benar bisa berdialog dengannya."
"Di bulan Ramadan, aku merasa benar-benar berada dalam pelukanNya, dalam cintaNya."
"Tingkat tinggi, Won," kata Abdurrahman. Tetapi ia sendiri tahu, sejak di pesantren Kliwon memang pemikirannya tak bisa ditebak, berada di luar pemikiran teman-teman sebayanya. Dului, ia berpikir Kliwon akan menjadi kiai besar, kiai yang berpengaruh. Tetapi, entah lah, ia tak tahu, kenapa Kliwon justru hanya menjadi tukang panjat pohon kelapa, dengan kehidupan ekonomi yang pas-pasan?