Berkali-kali Legi memerhatikan suaminya. Tidak seperti biasanya, ia tampak begitu gelisah, duduk di ruang dalam tak tenang, duduk depan rumah tak tenang. Legi ingin menyapanya, tetapi khawatir Kliwon sedang ingin sendiri. Legi berlalu ke dapur mempersiapkan makan sahur, dan Kliwon kembali keluar rumah. Kali ini duduk di bangku di bawah pohon nagka tua di sudut barat halaman rumahnya.
"Romo ke mana, Mbok?" Wage berteriak dari meja makan. Biasanya, begitu Wage bangun, ia sudah akan mendapati Romo duduk di meja makan, atau sedang menyiapkan teh hangat empat gelas, untuk dirinya sendiri, anak-anak dan istrinya.
"Romo di luar rumah, Le," jawab Legi dengan suara keras karena ia masih berada di dapur. Tangannya sedang sibuk mengatur kayu bakar agar nyalanya bagus, dan sayur yang sedang dihangatkan segera bisa disajikan di meja makan.
Rajab sudah meneriakkan sahur, sahur, sahur melalui pengeras suara dari Musala kampung sudah membangunkan warga kampung. Para pasukan anak-anak muda kampung sudah berkeliling membangunkan penduduk dengan suara tabuhan dasi alat-alat seadanya, dan membawa oncor, penerang dari bambu menggunakan oli bekas. Kalau dulu mereka menggunakan minyak tanah sebelum harganya menjadi mahal dan keberadaannya melangka.
Legi tak mendapati suaminya di meja makan, hanya si Pon dan Wage yang sedang menunggu sayur yang dihangatkan untuk segera makan sahur. Setelah menata sayur untuk anak-anak, Legi segera menyusul suaminya di sudut halaman rumah.
"Ada apa?"
"Entahlah. Tiba-tiba saja ingatanku selalu ke KH. Abu Hasan."
"Saya belum pernah dengar."
"Memang tidak pernah saya ceritakan bagaimana pernah mendengar."
"Ah, kamu."
"Siapa dia, Kang?"