Ledakan bom yang terjadi di Surabaya, sungguh memancing kemarahan seluruh masyarakat Indonesia yang cinta damai.
Ledakan terjad di depan Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya. di depan Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro, dan di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan, Jalan Arjuno.
Dalam update terakhir dari berbagai media, saat tulisan ini ditayangkan, ada 9 korban yang meninggal dunia dan 40 orang mengalami luka-luka dan dalam perawatan di rumah sakit.
Ledakan bom ini, menyusul peristiwa penyanderaan terhadap aparat keamanan di Mako Brimob, Jakarta. Dan menjadi gambaran serius dan menjadi pertanda masih hidup kelompok-kelompok di negeri ini yang ingin mencapai dan memenuhi kepentingannya dengan cara menebar rasa takut, menebar kecemasan, dengan membunuh dan melukai masyarakat sipil dengan meledakkan bom.
Peristiwa serangkaian tindakan ini, saatnya pemerintah melakukan startegi dalam menghadapi tindakan-tindakan teror yang diyakini masih akan terus terjadi. Tindakan terpenting bagi pemerintah mulai memastikan kelompok-kelompok yang bertanggung jawab atas peledakan bom itu.
Tindakan ini akan menjadi batu uji bagi badan intelejen nasional yang memiliki kapasitas dalam membongkar tindakan-tindakan terorisme yang membangun sistem jaringan kerjanya rapat, rumit dan tersembunyi.
Meski terorisme sudah bukan lagi sebagai potensi di negeri ini, melainkan sudah menjadi tindakan nyata, pemerintah tetap diharapkan tidak membentuk komando gabungan elit TNI dan Polri yang justru bisa menimbulkan persoalan baru.
***
Korban nyawa dan luka akibat tindakan terorisme hendaknya menjadi refleksi kesadaran bagi para ulama dan pimpinan agama di negeri ini, agar tak mudah membenarkan tindkaan-tindakan sewenang-wenang dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, tindkaan-tindakan seperti itu bisa menjadi bibit dari teoritis.e.
Pernyataan-pernyataan yang menyulut pembedaan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk yang membangkitkan kebencian antar kelompok dalam masyarakat.
***