Indonesia boleh merasa bangga, apalagi para Kompasioner yang terus menerus berkarya sebagai jurnalisme warga. Pasalnya, dalam peristiwa peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional tanggal 3 Mei 2017, yang dipusatkan di Jakarta, selama 1-4 Mei itu, memberikan ruang baru, pengakuan baru, pemahaman jurnalisme sudah harus diperluas. Tentu saja, maknanya adalah hadirnya para jurnalisme warga yang menulis secara terus menerus, memberikan opini dan laporan fakta empiris mengenai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Pada peringatan Kebebasan Pers Internasional 2017 ini, mengambil tema "Peran Media dalam Memajukan Perdamaian, Keadilan Sosial, dan Masyarakat Inklusi, sungguh menjadi sangat tepat manakala mengambil tempat Indonesia sebagai tuan rumah acara yang akan menghadirkan ribuan para jurnalis seluruh dunia. Tepat karena sesungguhnya tema yang dianggap sangat sesuai dengan perjuangan warga bangsa ini dalam situasi kekinian.
Pertama, negeri ini, saat ini, sedang menghadapi persoalan kedamaian dalam kehidupan berbangsa. Berbagai gerakan fundamentalis berlatar perbedaan agama di negeri sudah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan, dan bahkan mengancam kerukunan umat beragama yang sudah terbangun dan dipahami sejak berdirinya Republik Indonesia.Â
Simpang siurnya para elit sosial, para pejabat negara dalam menghadapi fenomena radikalisme di negeri ini mengundang keprihatinan yang mendalam. Mereka bisa berbicara sesuka hati sesuai dengan pikirannya sendiri, dan sering kali sama sekali tak memedulikan dampak yang akan terjadi, gesekan yang akan terjadi pada level masyarakat bawah.
Media massa, seharusnya mengambil peran penting dalam menciptakan perdamaian, sering kali menjadi gagal karena cara pandang mereka--dan sering kali keberpihakan mereka, sebab dengan pendekatan jurnalisme yang dikembangkan justru mempertajam perbedaan pandangan, dan memperkeruh situasi saling serang berbagai kelompok dalam masyarakat.
Jurnalisme perang masih menjadi gaya yang paling disukai para pelaku media nasional. Dan tentu saja, gaya ini sering kali dapat kita tangkap dan menjangkiti para jurnalisme warga.
Pelaku media di Indonesia, sudah semestinya meninjau ulang gaya dan strategi jurnalistiknya, melihat dampak pemberitaan yang dibuatnya, lalu merumuskan gaya jurnalisme yang baru, yang diharapkan mampu mendorong dan mewujudkan peran strategis media dalam menciptakan kedamaian dan rasa nyaman dalam kehidupan yang memiliki latar sosial beragam, terutama latar suku dan agama. Dua latar sosial ini, menjadi titik paling krusial dan sensitif yang akan sangat mudah meledak, manakala media turut mengipasinya.
Memerhatikan situasi dan fakta ini, bisa dikatakan media massa di Indonesia masih sangat sulit dan masih sangat jauh diharapkan untuk bisa berperan dalam membangun situasi damai dalam kehidupan berbangsa dan negara.Â
Sementara, jurnalisme warga yang bekerja berdasarkan kepentingan pribadi, tidak atas nama modal dan industri kecenderungannya justru mengikuti jejak keliru media massa konvensional itu.
Kedua, negeri ini, saat ini, juga sedang mengalami situasi menurunnya kepercayaan publik berkaitan dengan keadilan. Muncul kritik normatif yang sering kali di lontarkan media massa dan juga jurnalis warga, hukum kita hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Artinya, perangkat hukum di Indonesia luar biasa hebat dan cepatnya manakala menangani kasus-kasus yang melibatkan masyarakat miskin, kelompok yang tak memiliki kekuasaan (powerless) dan kelompok yang tak memiliki suara (voiceless).
Tetapi manakala menghapi orang-orang yang berkuasa (powerfull) dan memiliki kekuatan suara dalam masyarakat (voicefull) betapa tiba-tiba mata pedang hukum itu menjadi tumpul, berkarat, dan bahkan menjadi begitu lamban, sebab pedang hukum itu seakan-akan terbuat dari bahan baja dengan ribuan kati beratnya. Wajah keadilan di negeri ini, dengan begitu masih tampak begitu buram, dan retak di sana sini.
Media di Indonesia, dan juga para jurnalis warga tampaknya sudah cukup bagus memainkan peran dalam mendorong mewujudkan keadilan bagi semua warga negara. Dengan catatan, untuk keadilan yang lebih besar, seperti hak hidup, pelanggaran HAM berat, media di Indonesia terbelah-belah posisinya, sebab media yang secara modal kebetulan di miliki orang-orang yang berada di partai politik dan di panggung kekuasaan, mereka akan menunjukkan sikap yang berbeda sama sekali dalam memberitakan suara-suara tuntutan keadilan di negeri ini.
Ketiga, mendorong peran media dalam ranah penciptaan masyarakat inklusi, agaknya relatif paling menjanjikan. Keterbukaan dalam bidang ekonomi, aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas, keterbukaan politik, semuanya bisa melenggang dengan mudah dalam agenda setting media di Indonesia.Â
Hanya saja, situasi ini menjadi macet total dan bakan media bisa ditangkap keberpihakannya, manakala menuju pada masyarakat inklusi dalam isu LGBT. Dan ini tak hanya media industri, jurnalis warga juga langsung menempatkan dirinya masing-masing pada bias keyakinannya.
Pembelajaran selama empat hari dalam berbagai diskusi mengenai kebebasan pers ini, seharusnya bisa menjadi pembelajaran penting bagi pelaku media di Indonesia, termasuk pada jurnalis warga, yang karena hadirnya mereka dalam ranah media telah memaksa perluasan teori dan konsep jurnalisme bahkan secvarta internasional.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI