Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayat Telanjang di Rumpun Bambu

2 April 2017   21:37 Diperbarui: 4 April 2017   15:18 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam dinding kembali berdentang. Kali ini berbunyi 11 kali. Surtiyah sudah lima jam duduk di teras rumahnya, sejak suara azan magrib terdengar dari menara masjid dusun Bluwangan. Nyamuk silih berganti, terbang-hinggap di tubuh perempuan berusia 29 tahun itu. Ketika belalai runcing dengan cairan pembeku darah menelusup di permukaan kulit ari lengan kanan, ia menepuknya dan terdengar suara: plak!

Nyamuk terbang menembus cahaya pijar lampu bohlam berdaya 5 watt. Tak lama, suara dengung terdengar kembali, kadang naik, kadang turun. Tiga ekor nyamuk berputar-putar mengelilingi kepala Surtiyah.

Seekor tikus berbulu hitam seukuran kelinci berlari. Tikus itu mendadak belok kiri, menikung tajam, ketika Surtiyah meluruskan kakinya. Kedua tangan diluruskan ke atas, tepat di samping kepalanya.

Mulut Surtiyah membuka lebar, gigi berjajar rapi seumpama biji mentimun, putih, kecil dan rata. Wajahnya menengadah. Tangan kanan ditarik turun, telapak tangan menutupi mulut, telapak kiri menutup ubun-ubunnya. Kepalanya digeleng-gelengkan ke kanan dan kiri dengan hentakan: krek, krek!

Ia berdiri dan melangkah ke halaman. Tak ada bulan, tak ada bintang di langit. Hanya hitam yang terlihat. Awan yang menggelantung, berarak ke arah Barat Daya. Sesekali tampak selarik cahaya membelah awan, dan diikuti suara menggemuruh susul menyusul.

Malam terus melarut dalam dendang suara burung hantu di dahan pohon nangka belakang rumah Surtiyah. Menurut Mbah Leman, pohon nangka itu sudah berumur ratusan tahun. Akar-akarnya menonjol dan melipat-lipat di permukaan tanah. Batangnya mengeluarkan cairan lembut menggumpal berwarna kuning kecoklatan di beberapa bagiannya.

Waktu kecil, Mbah Leman dan anak-anak lain di dusun Bluwangan, mengambil cairan coklat pohon nangka itu sebagai bahan utama menggelas benang-benang layangan. Sebelumnya, mereka memyiapkan tumbukan beling yang sangat halus, mencampurkannya dengan cairan itu. Beling-beling itu mereka dapatkan dari pecahan-pecahan beling, terutama torong lampu minyak dan piring beling. Sebagian melempari beling di tiang-tiang kawat listrik di sepanjang rel kereta api.

Gulungan benang yang akan digelas dimasukkan ke dalam kaleng berisi cairan pohon nangka dan beling halus. Lalu dengan kain-kain bekas mereka mulai menarik benang itu perlahan-lahan sambil memutari beberapa pohon dengan sinar matahari tidak langsung menimpa benang-benang itu. Menggelas dengan cara ini, benang tidak mudah berjamur sehingga tak mudah putus dibanding menggelas dengan bahan dari tepung tapioka atau kanji dari singkong.

Mbah Leman mengatakan tak ingat lagi kapan kebiasaan itu tak boleh dilakukan lagi. Yang dia ingat, orangtua mereka khawatir anak-anak akan diganggu jin yang menunggu pohon nangka tua itu. Kata Mbah Leman, menghindari malapetaka lebih penting dilakukan agar bisa menjamin masa depan anak-anak tetap waras.

Saat ini, di bawah pohon nagka bertumpuk bunga berwarna warni. Sebagiannya sudah membusuk dan sebagiannya lagi masih segar dan basah. Aroma bunga bertindih-tindih dengan aroma minyak wangi, sisa pembakaran dupa dan kemenyan.

Mbah Leman, memang penduduk tertua di dusun Bluwangan. Kini usianya sudah teramat lanjut, 132 tahun. Meski begitu, ia masih mencangkul tanah pekarangannya yang tak begitu luas, sekitar 10 X 9 meter. Kadang ia bisa seharian di pekarangan itu, menanam bayam, terong dan pare.

Di dusun Bluwangan, gosip beredar tentang Mbah Leman. Panjang umur dan kekuatannya, karena ia memasang susuk landung yuswo yang didapatnya dari semedi di kaki gunung Luwak. Letaknya sekitar 72 km sebelah Selatan dusun Bluwangan. Susuk itu keluar dari gundukan tanah dalam gua, terbang dalam lingkar cahaya biru, dan masuk begitu saja ke dalam lengan kanan Mbah Leman.

Sejak saat itu, Mbah Leman sering didatangi orang-orang, bahkan dari luar dusun. Mereka meminta pertolongan kepada Mbah Leman untuk penyembuhan dan kepentingan yang lain. Tidak jarang, orang-orang yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum juga datang meminta berkah darinya.

Pekarangan Mbah Leman itu berbatas tanah dengan pekarangan milik Surtiyah yang ditumbuhi pohon nangka. Tak jauh dari pohon nangka, tumbuh serumpun bambu wulung dengan daun-daun yang rimbun. Batang-batangnya saling berbelit, melintang-lintang. Seakan masing-masing saling berpelukan, berbagi duka dan berbagi suka.

Menjelang tengah malam, Surtiyah melangkah ke arah pohon nangka itu. Jaraknya tak jauh, hanya sekitar 10 meter dari rumahnya. Langkahnya tampak gontai, tatapan matanya kosong. Ia mengenakan pakaian rok terusan dengan gambar bunga-bunga mawar berwarna merah dan kuning. Setelah sampai di bawah pohon ia menyalakan lilin, membakar dupa dan kemenyan. Asap putih menbar, membumbung tinggi dan seakan menghilang di antara daun rimbun pohon nangka.

Tepat ketika terdengar samar jam dinding di rumah Surtiyah berbunyi 12 kali, ia mulai melepas pakaiannya. Tak selembar benang pun melekat di tubuhnya, kulit putihnya seakan bercahaya dalam pelukan gulita malam. Kebiasaan itu sudah menjadi kabar seharian di antara warga dusun Bluwangan. Surtiyah melakukannya sejak berusia 18 tahun, setelah bapak dan ibunya ditemukan tak lagi bernyawa di bawah pohon nagka itu. Setiap malam ditemukannya mayat orangtuanya itu, ia akan berada di bawah pohon nangka dan menari dengan ketelanjangan.

Malam itu, gelap pekat tak mampu menyembunyikan ketelanjangan Surtiyah dari sepasang mata yang berkilat-kilat di antara rumpun bambu, jaraknya sekitar lima meter sebelah selatan pohon nangka. Terdengar nafas memburu. “Surtiyah, Surtiyah, dirimu terlalu cantik untukku.”

Gumam itu membentur-bentur batang bambu, bergulung-gulung menyelimuti Surtiyah yang sedang menari dalam ketelanjangannya. Ia memutari pohon nangka berulang-ulang mengikuti arah jarum jam. Ia seperti penari muda dalam pentas wayang wong yang biasa diadakan di lapangan dusun setahun sekali pada tanggal 10 Suro.

Suara burung hantu terdengar kembali, kali ini tak hanya seekor, mungkin ratusan ekor. Suaranya terus bersahut-sahutan tak henti-henti. Pohon nangka itu dipenuhi burung-burung hantu. Suara yang penaka musik mengiringi setiap gerak dan langkah Surtiyah dalam tariannya. Saat gerakannya melembut, gemuruh suara burung hantu pun menurun, begitu gerakan cepat, suara itu berubah menjadi cepat.

Surtiyah sudah bermandi keringat. Nafasnya tak beraturan, dadanya naik turun. Tubuhnya menggelayut di pohon nangka. Dalam hitungan menit, tubuh itu terbujur di tanah. Tangan kanannya jatuh tepat di atas tumpukan bunga yang membusuk. Ratusan burung hantu turun dari dahan-dahan pohon nangka, seperti hujan batu saja layaknya, berbaris-baris di tanah, dan berdesak-desakan mendekati tubuh Surtiyah.

Surtiyah duduk bersila. Sebagian burung tampak bertengger di atas pundak, kepala dan sebagiannya di paha Surtiyah kanan dan kiri. “Ini malam keseribu saya menari untukmu,” kata Surtiyah.

Suara burung-burung hantu itu menggemuruh. Sayap-sayapnya mengepak-kepak tak beraturan dan saling beradu satu sama lainnya. Seakan burung-burung hantu itu mengerti ucapan Surtiyah.

“Apakah janjimu akan dipenuhi malam ini, juga? Katakan siapa yang membunuh orangtuaku. Kau tahu, polisi sama sekali tak bisa menangkap pelaku pembunuhan keji itu,” lanjutnya.

“Terkutuklah, kalau saja tak memenuhi janji seperti yang kau katakan setiap kali menikmati tubuhku dalam mimpi,” suara Surtiyah terdengar meninggi, yang disambut dengan gemuruh suara burung-burung hantu.

Tiba-tiba, burung-burung hantu itu beterbangan saling berebut menuju ke rumpun bambu wulung. Puluhan burung hantu menukik, dan puluhan lain terbang kembali hinggap di pohon nangka. Begitu terus peristiwanya, sampai puluhan burung hantu yang terakhir. Surtiyah sudah masuk ke dalam rumahnya, dan tertidur dengan ketelanjangannya. Malam itu ia tak lagi bermimpi didatangi seorang pemuda bertubuh kekar, dan menggeluti tubuhnya dengan gelegak birahi.

Esok paginya, dusun Bluwangan geger. Mayat Mbah Leman ditemukan di antara rumpun bambu wulung miliknya. Seluruh tubuhnya tersayat-sayat hingga tampak tulang belulangnya. Kabar itu terus menyebar dengan cepat. Orang-orang datang membuktikan kebenaran berita kematian yang mengerikan itu. Lima polisi datang membuat catatan-catatan dan menanyai beberapa penduduk: semuanya menggelengkan kepala.

Surtiyah melangkah keluar dari kumpulan orang-orang itu. Dan tak ada yang tahu seulas senyum yang mengembaang dari bibirnya yang tipis, memerah dan selalu basah itu.***

----

Mukhotib MD, tinggal di Magelang Jawa Tengah. Karya novel yang sudah terbit Kliwon, Perjalanan Seorang Saya, Air Mata Terakhir, Den Ayu Putri dan Pesona Sumilah. Tulisan-tulisannya berupa essay, opini, dan cerita pendek dipublikasikan dalam media lokal dan nasional. Naskah novelnya: Perempuan Puncak Pyramid dan Laela, Sang Penerus sedang dalam proses editing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun