Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayat Telanjang di Rumpun Bambu

2 April 2017   21:37 Diperbarui: 4 April 2017   15:18 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dusun Bluwangan, gosip beredar tentang Mbah Leman. Panjang umur dan kekuatannya, karena ia memasang susuk landung yuswo yang didapatnya dari semedi di kaki gunung Luwak. Letaknya sekitar 72 km sebelah Selatan dusun Bluwangan. Susuk itu keluar dari gundukan tanah dalam gua, terbang dalam lingkar cahaya biru, dan masuk begitu saja ke dalam lengan kanan Mbah Leman.

Sejak saat itu, Mbah Leman sering didatangi orang-orang, bahkan dari luar dusun. Mereka meminta pertolongan kepada Mbah Leman untuk penyembuhan dan kepentingan yang lain. Tidak jarang, orang-orang yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum juga datang meminta berkah darinya.

Pekarangan Mbah Leman itu berbatas tanah dengan pekarangan milik Surtiyah yang ditumbuhi pohon nangka. Tak jauh dari pohon nangka, tumbuh serumpun bambu wulung dengan daun-daun yang rimbun. Batang-batangnya saling berbelit, melintang-lintang. Seakan masing-masing saling berpelukan, berbagi duka dan berbagi suka.

Menjelang tengah malam, Surtiyah melangkah ke arah pohon nangka itu. Jaraknya tak jauh, hanya sekitar 10 meter dari rumahnya. Langkahnya tampak gontai, tatapan matanya kosong. Ia mengenakan pakaian rok terusan dengan gambar bunga-bunga mawar berwarna merah dan kuning. Setelah sampai di bawah pohon ia menyalakan lilin, membakar dupa dan kemenyan. Asap putih menbar, membumbung tinggi dan seakan menghilang di antara daun rimbun pohon nangka.

Tepat ketika terdengar samar jam dinding di rumah Surtiyah berbunyi 12 kali, ia mulai melepas pakaiannya. Tak selembar benang pun melekat di tubuhnya, kulit putihnya seakan bercahaya dalam pelukan gulita malam. Kebiasaan itu sudah menjadi kabar seharian di antara warga dusun Bluwangan. Surtiyah melakukannya sejak berusia 18 tahun, setelah bapak dan ibunya ditemukan tak lagi bernyawa di bawah pohon nagka itu. Setiap malam ditemukannya mayat orangtuanya itu, ia akan berada di bawah pohon nangka dan menari dengan ketelanjangan.

Malam itu, gelap pekat tak mampu menyembunyikan ketelanjangan Surtiyah dari sepasang mata yang berkilat-kilat di antara rumpun bambu, jaraknya sekitar lima meter sebelah selatan pohon nangka. Terdengar nafas memburu. “Surtiyah, Surtiyah, dirimu terlalu cantik untukku.”

Gumam itu membentur-bentur batang bambu, bergulung-gulung menyelimuti Surtiyah yang sedang menari dalam ketelanjangannya. Ia memutari pohon nangka berulang-ulang mengikuti arah jarum jam. Ia seperti penari muda dalam pentas wayang wong yang biasa diadakan di lapangan dusun setahun sekali pada tanggal 10 Suro.

Suara burung hantu terdengar kembali, kali ini tak hanya seekor, mungkin ratusan ekor. Suaranya terus bersahut-sahutan tak henti-henti. Pohon nangka itu dipenuhi burung-burung hantu. Suara yang penaka musik mengiringi setiap gerak dan langkah Surtiyah dalam tariannya. Saat gerakannya melembut, gemuruh suara burung hantu pun menurun, begitu gerakan cepat, suara itu berubah menjadi cepat.

Surtiyah sudah bermandi keringat. Nafasnya tak beraturan, dadanya naik turun. Tubuhnya menggelayut di pohon nangka. Dalam hitungan menit, tubuh itu terbujur di tanah. Tangan kanannya jatuh tepat di atas tumpukan bunga yang membusuk. Ratusan burung hantu turun dari dahan-dahan pohon nangka, seperti hujan batu saja layaknya, berbaris-baris di tanah, dan berdesak-desakan mendekati tubuh Surtiyah.

Surtiyah duduk bersila. Sebagian burung tampak bertengger di atas pundak, kepala dan sebagiannya di paha Surtiyah kanan dan kiri. “Ini malam keseribu saya menari untukmu,” kata Surtiyah.

Suara burung-burung hantu itu menggemuruh. Sayap-sayapnya mengepak-kepak tak beraturan dan saling beradu satu sama lainnya. Seakan burung-burung hantu itu mengerti ucapan Surtiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun