Jam dinding kembali berdentang. Kali ini berbunyi 11 kali. Surtiyah sudah lima jam duduk di teras rumahnya, sejak suara azan magrib terdengar dari menara masjid dusun Bluwangan. Nyamuk silih berganti, terbang-hinggap di tubuh perempuan berusia 29 tahun itu. Ketika belalai runcing dengan cairan pembeku darah menelusup di permukaan kulit ari lengan kanan, ia menepuknya dan terdengar suara: plak!
Nyamuk terbang menembus cahaya pijar lampu bohlam berdaya 5 watt. Tak lama, suara dengung terdengar kembali, kadang naik, kadang turun. Tiga ekor nyamuk berputar-putar mengelilingi kepala Surtiyah.
Seekor tikus berbulu hitam seukuran kelinci berlari. Tikus itu mendadak belok kiri, menikung tajam, ketika Surtiyah meluruskan kakinya. Kedua tangan diluruskan ke atas, tepat di samping kepalanya.
Mulut Surtiyah membuka lebar, gigi berjajar rapi seumpama biji mentimun, putih, kecil dan rata. Wajahnya menengadah. Tangan kanan ditarik turun, telapak tangan menutupi mulut, telapak kiri menutup ubun-ubunnya. Kepalanya digeleng-gelengkan ke kanan dan kiri dengan hentakan: krek, krek!
Ia berdiri dan melangkah ke halaman. Tak ada bulan, tak ada bintang di langit. Hanya hitam yang terlihat. Awan yang menggelantung, berarak ke arah Barat Daya. Sesekali tampak selarik cahaya membelah awan, dan diikuti suara menggemuruh susul menyusul.
Malam terus melarut dalam dendang suara burung hantu di dahan pohon nangka belakang rumah Surtiyah. Menurut Mbah Leman, pohon nangka itu sudah berumur ratusan tahun. Akar-akarnya menonjol dan melipat-lipat di permukaan tanah. Batangnya mengeluarkan cairan lembut menggumpal berwarna kuning kecoklatan di beberapa bagiannya.
Waktu kecil, Mbah Leman dan anak-anak lain di dusun Bluwangan, mengambil cairan coklat pohon nangka itu sebagai bahan utama menggelas benang-benang layangan. Sebelumnya, mereka memyiapkan tumbukan beling yang sangat halus, mencampurkannya dengan cairan itu. Beling-beling itu mereka dapatkan dari pecahan-pecahan beling, terutama torong lampu minyak dan piring beling. Sebagian melempari beling di tiang-tiang kawat listrik di sepanjang rel kereta api.
Gulungan benang yang akan digelas dimasukkan ke dalam kaleng berisi cairan pohon nangka dan beling halus. Lalu dengan kain-kain bekas mereka mulai menarik benang itu perlahan-lahan sambil memutari beberapa pohon dengan sinar matahari tidak langsung menimpa benang-benang itu. Menggelas dengan cara ini, benang tidak mudah berjamur sehingga tak mudah putus dibanding menggelas dengan bahan dari tepung tapioka atau kanji dari singkong.
Mbah Leman mengatakan tak ingat lagi kapan kebiasaan itu tak boleh dilakukan lagi. Yang dia ingat, orangtua mereka khawatir anak-anak akan diganggu jin yang menunggu pohon nangka tua itu. Kata Mbah Leman, menghindari malapetaka lebih penting dilakukan agar bisa menjamin masa depan anak-anak tetap waras.
Saat ini, di bawah pohon nagka bertumpuk bunga berwarna warni. Sebagiannya sudah membusuk dan sebagiannya lagi masih segar dan basah. Aroma bunga bertindih-tindih dengan aroma minyak wangi, sisa pembakaran dupa dan kemenyan.
Mbah Leman, memang penduduk tertua di dusun Bluwangan. Kini usianya sudah teramat lanjut, 132 tahun. Meski begitu, ia masih mencangkul tanah pekarangannya yang tak begitu luas, sekitar 10 X 9 meter. Kadang ia bisa seharian di pekarangan itu, menanam bayam, terong dan pare.