Sidang Tanwir Muhamadiyah usai, yang dilaksanakan tanggal 24-26 Pebruari 2017 di Ambon. Lima butir resolusi dihasilkan. Sayangnya, semua resolusi organisasi besar dan mewakili kelas menengah atas—manakala dilihat dari sejarah berdirinya—terkesan tendensius, dan hanya berisi puja-puji kepada pemerintah.
Tak ada kritik sama sekali, kecuali hanya pandangan Muhamadiyah agar pemerintah bersikap tegas dalam membangun ekonomi yang berpihak, bukan tegas dalam menghadapi ragam tindakan intoleransi yang hendak menghancurkan keberagaman di Indonesia. Apa yang disebut resolusi, sebagai sebuah pernyataan bersama yang berisi tuntutan kepada pemerintah, misalnya, tak akan bisa ditemukan dalam Resolusi Ambon.
Dalam resolusi itu hanya berisi definisi-definisi umum mengenai makna Proklamasi, kedaulalatan, dan keadialan sosial, dan gagasan mengenai pelibatan masyarakat madani dalam proses pembangunan nasional. Sebuah definisi umum yang sudah begitu jamak didiskusikan dan bahkan dalam berbagai kajian dan riset di Perguruan Tinggi.
Maka resolusi itu pun tak akan bisa banyak bicara dalam peta kekuasaan dan berbagai kebijakan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. Ia tak memberikan beban apapun kepada pemerintah karena resolusi itu hanya bersifat normatif dan teoritis-konseptual.
***
Sebagai orang luar, yang berteman dengan beberapa kelompok Muhamadiyah saya melihat resolusi yang dihasilkan dari sebuah sidang yang memiliki kekuatan satu tingkat di bawah Muktamar itu sungguh amat tak berbobot, tak bergigi dan bahkan terkesan oportunistik terhadap kekuasaan pemerintahan saat ini.
Saya sama sekali tak melihat gereget dari gagasan-gagasan kaum muda yang acap kali sangat kritis dan memiliki kepedulian terhadap berbagai perubahan sosial di negeri ini. Saya tak mengerti bagaimana prosesnya dalam perumusan Resolusi Ambon, tetapi tampaknya sebagaimana tersiar di berbagai media online dan cetak, Sidang Tanwir masih berada dalam kuasa angkatan tua dalam kalangan Muhamadiyah. Kelompok-kelompok muda tampaknya masih mendapatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dalam keputusan organisasi paling tinggi.
Ketidakhadiran kaum muda, juga tampak jelas dengan absennya isu-isu aktual dalam kehidupan sosial di negeri ini. Sebut, misalnya, persoalan ketertindasan perempuan, tersingkirnya para penyandang disabilitas, perdagangan manusia, nasib para perempuan yang bekerja di luar negeri, dan juga masyarakat adat. Isu-isu yang sehaarusnya mendapatkan perhatian dan kritik tajam dari Muhamadiyah.
Kosongnya isu-isu itu, juga sedang menandakan keterbatasan dalam melihat dan menimbang berbagai ketidakadilan sosial di negeri ini. Ketidakadilan sosial yang masih dilihat dalam hanya dalam batas-batas kekuasaan politik dan ekonomi, belum melihat lebih jauh dalam sistem yang lebih luas, termasuk sistem kebudayaannya.
***
Secara ideal, Muhamadiyah sudah semestinya menjadi pelopor dalam mengawal dan melakukan kontrol terhadap kekuasaan, serta memberikan catatan-catatan kritis terhadap berbagai persoalan yang berkembang di negeri ini. Termasuk bagaimana kelemahan pemerintah dalam menghadapi gerakan-gerakan intoleran yang hendak memaksakan kebenarannya sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kondisi ideal semacam ini tentu saja sangat susah diharapkan manakala transformasi secara internal dalam Muhamadiyah sendiri tak terjadi antara golongan tua dan golongan muda. Sebuah proses pembukaan pintu partisipasi agar kaum muda Muhammadiyah bisa turut membantu organisasi dalam mempertahankan kritisime organisasi dan menjaga organisasi agar tetap mampu independen dari kekuasaan dan bebas dari kepentingan politik para elite organisasi.
Artinya, belajar dari munculnya Resolusi Ambon, saya melihat Muhamadiyah perlu melakukan reformasi cara pengelolaan organisasinya, dan memberikan kepercayaan kaum muda dalam turut mengambil keputusan-keputusan penting organisasi. Tanpa melakukan reformasi semacam ini, pada saatnya nanti Muhamadiyah akan mengalami masa kosong kepempinan yang berkualitas dan bebas dari kepentingan kekuasan sebagaimana yang dicontohkan para pendahulunya, seperti KH. Ahmad Dahlan, AR Fachruddin dan Buya Syafi’I Ma’arif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H