***
Sejauh yang saya coba pikirkan, gerakan kebudayaan perempuan di Indonesia mencoba melakukan serangkaian pembebasan berpikir dan berkreasi melalui berbagai medium kebudayaan. Media massa pernah menjadi strategi kebudayaan dalam membangun peradaban ke arah yang lebih maju. Berbagai organisasi perempuan, menerbitkan surat kabar, seperti Poetri Hindia, Perempoean Bergerak, Poetri Mardika, dan Estri Oetomo.
Pada konteks ini, gerakan perempuan ditujukan pada kancah politik dalam kerangka membangun nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Sebuah gerakan panjang, yang pada akhirnya hanya diposisikan sebagai simbol semata, meski sesungguhnya sama-sama mengalami penindasan kolonialisme yang luar biasa. Bahkan bagi perempuan, penderitaan itu menjadi lebih berat ketimbang laki-laki, karena perempuan mengalami kekejian seksual.
Pada masa selanjutnya, gerakan perempuan bergerak maju dan mulai secara spesifik memasuki ranah pembentukan kebudayaan yang semakin jelas dengan melakukan pembalikan paradigma kebudayaan mengenai isu-isu perempuan. Misalnya, dalam Kongres Perempuan Pertama tahun 1928, gerakan perempuan mulai menyoal hak-hak pendidikan bagi perempuan dan meminta pemerintah kolonial memperbanyak pendidikan bagi anak-anak perempuan kebanyakan, dan memberikan beasiswa pendidikan bagi mereka yang tak mampu.
Persoalan lain yang didiskusikan mengenai hukum perkawinan yang memosisikan perempuan bisa ditunjuk, dikawinkan dan diceriakan meski bukan sebagai keinginannya sendiri, dan juga mengenai sola poligami, pembertasan perkawinan anak, perdagangan anak perempuan, dan masalah-masalah kesehatan.
Dalam kongres-kongres selanjutnya, isu-isu yang dibahas semakin berkembang dan tajam, termasuk salah satunya mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan dalam Kongres tahun 1935, membentuk Komisi Perkawinan yang bertugas merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya.
Ketika reformasi terjadi, gerakan politik perempuan mendapatkan peluangnya memasuki ranah pembuat kebijakan dalam DPR. Meski sebenarnya, gerakan merebut ranah ini, sudah dilakukan Salawati Daud yang menjadi anggota DPR pada tahun 1955 dalam Pemilu yang dianggap paling demokratis dalam catatan politik di Indonesia. Salawati Daud juga menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi Wali Kota di Indonesia.
Ketika perempuan semakin banyak masuk ke dalam ruang kebijakan, peluang membangun kebudayaan yang adil bagi semua melalui ranah kebijakan cukup menguat. Tindakan afirmasi yang mensyaratkan 30% calon legislatif bagi setiap partai merupakan jalan baru bagi gerakan perempuan dalam merebut rekayasa budaya melalui kursi DPR.
Pada masa ini, angan-angan membangun kebudayaan yang adil bagi semua, tampaknya berpusat pada keyakinan, kebudayaan bisa dibangun melalui terbitnya beragam kebijakan pada level negara. Gerakan advokasi kebijakan lantas menguat menjadi corak gerakan perempuan pada tahun-tahun terakhir ini, setidak-tidaknya mulai tahun 80-an.
Apa yang salah dengan paradigma politik kebudayaan melalui kebijakan? Tentu tak ada yang salah sebagai pilihan strateginya. Tetapi perlu dikritisi ulang, manakala gerakan itu tersentral pada keyakinan terhadap kemampuan kebijakan, tak hanya gerakan itu akan mengabaikan kekuatan-kekuatan sosial budaya pada aras bawah, tetapi juga kemampuan menyentuh kebijakan hanya bersifat parsial, dan terutama pada persoalan-persoalan yang manifes.
Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai kehutanan, dan pengelolaan sumber daya alam lainnya, tertinggal jauh di belakang. Mungkin pada satu sisi banyak kemajuan mengenai kebijakan mengenai pemajuan perempuan, tetapi pada sisi lain begitu banyak kebijakan yang masih dikembangkan dengan nalar-nalar maskulin. Meski kita juga sudah menangkap masuknya gerakan perempuan dalam isu-isu pengelolaan sumber daya alam, tetapi belum mendapatkan sambutan positif dari para perempuan yang ada di legislatif.