***
Kebudayaan pada akhirnya menjadi ruang kontestasi, area perebutan kepentingan berbagai kelompok: yang kesemuanya berdalih untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, meski dengan latar ideologi yang berbeda-beda, sesuai dengan keyakinan atas nilai, noram dan pengetahuan yang menjadi dasar manusia bertindak.
Lantas, apa kepentingan perempuan melakukan gerakan perebutan kontestasi dalam ruang kebudayaan? Berdasarkan pemahaman mengenai gerak kebudayaan ini, maka saya tak seluruhnya setuju dengan ungkapan luas mengenai gerakan untuk pemajuan perempuan.
Sebab apa yang dilakukan perempuan dalam mendekonstruksi kebudayaan sesungguhnya untuk sebuah kepentingan keadilan bagi semua, sebuah proses mamanusiakan manusia agar tak mencederai kemanusiaan: melakukan penindasan, kekerasan, perusakan alam semesta, dan melakukan korupsi besar-besaran untuk memperkaya kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri.
Gerakan kebudayaan perempuan, bukanlah untuk kepentingannya sendiri, dan meninggalkan atau bahkan menindas kelompok yang lain. Melainkan menuju pada pengakuan atas pluralisme budaya, yang mengaku adanya kebebasan dan hak hidup bagi ragam budaya dalam satu ikatakan warga-bangsa.
Meski begitu, Â bukan berarti mudah melakukannya, sebab masing-masing identitas budaya itu, tetap saja sering kali saling berhadap-hadapan, saling berkonfrontasi, dan meski pada saat yang sama terdapat identitas budaya yang mencoba memandang ke dalam dirinya sendiri, tanpa hendak memaksakan pandangan hidupnya kepada orang lain.
Kelompok perempuan mencoba melakukan pembongkaran terhadap tatanan nilai, norma, dan pengetahuan hegemonik, yang selama ini tak memberikan ruang bagi kelompok kebudayaan lain yang dianggap mesti diluruskan atau tak dimanusiakan, atau bahkan mesti dimusnahkan dan dibuang, seperti kelompok LGBT dan difabel. Pembongkaran ini dilakukan untuk meretas jalan baru dan membangunan kerangka pengetahuan baru mengenai normal dan abnormal sebagai sesuatu yang keliru.
Cara pandang ini, merupakan contoh paling nyata dari hadirnya pertempuran wacana yang sangat dahsyat yang dimainkan kelompok perempuan dalam mencipatakan kebudayaan dan peradaban yang memberikan kebebasan berkeskpresi, mencapai nilai tertinggi dari kemanusiaan dan mengagungkan budi luhur dalam kehidupan sosial.
Keberhasilan membangun paradigma mengenai kebudayaan yang majemuk, sama artinya dengan gerakan perempuan memenangkan wacana kebudyaaan dominan mengenai yang dibangun atas dasar oposisi biner, perempuan/laki-laki, homoseksual-heteroseksual, hitam-putih, normal/cacat, modern/tradisional, fundamentalis/liberalis. Sebab dalam oposisi biner selalu diyakini ada identitas ketiga, keempat, dan seterusnya tanpa batas.
Sebab tak ada lagi yang bernama identitas stagnan, dan statis, semuanya harus bisa mengalir dan berubah karena tingginya intensitas interaksi antar berbagai identitas. Saling memengaruhi dan saling meminjam simbol-simbol antar berbagai identitas, tetapi dengan menunjung prinsip-prinsip tertinggi dari kemanusiaan.
Apakah akan menjadi situasi yang anomali, di mana setiap identitas akan kehilangan identitas aslinya? Selagi di dalamnya benar-benar terhindar dari hegemoni, situasi ini tidak akan pernah terjadi meleburnya ragam identitas ke dalam satu identitas. Sebab jika terjadi, justru telah terjadi kegagalan interaksi, karena sejatinya identitas budaya harus memiliki kemerdekaan dan terbebas dari penyeragaman.