Saya bukanlah seorang penulis mengenai kebudayaan, dan dengan begitu tak pula memiliki seperangkat analisis tentang strategi budaya, siasat kebudayaan, dan politik kebudayaan. Apalagi sederet pengalaman mengenai riset-riset dalam lapangan kebudayaan. Sama sekali tidak. Saya hanyalah salah satu dari mungkin sekian banyak orang yang menjadi pelaku dan sekaligus korban dari sebuah bangunan kebudayaan yang sudah terhampar dengan seperangkat nilai dan seakan wajib untuk mengakui dan menjalankannya.
Maka ketika saya menerima ajakan menjadi pemantik diskusi dalam forum Jagongan Literasi pada putaran bulan ini, menurut saya, Tomy W Taslim, sebagai sahabat minum kopi, teman berdiskusi, Â sungguh terlalu amat berani memberikan kepercayaan itu.
Hanya karena saya meyakini sebuah kepercayaan tak boleh ditampik, kecuali sesekali untuk dikhianati, saya menerimanya dengan beberapa kali seruputan kopi dalam cangkir retak dan tak bergagang lagi.
***
Saya tak akan mengulas lagi soal peran politik perempuan dalam membangun kebangsaan di negeri ini, yang ketika dirunut memiliki akar begitu jauh setidaknya sejak daratan nusantara ini diterpa tindakan kolonialisasi dari bangsa-bangsa Eropa. Bangsa-bangsa yang merasa lebih beradab dan dengan dalih memperadabkan, tetapi secara bersamaan melakukan perampasan kekayaan sumber daya alam di nusantara.
Para tokoh perempuan itu, yang entah karena benar-benar melakukan gerakan kebudayaan, atau sekadar panggilan keibaan dari kalangan ningrat, atau karena diangkat sebagai simbol kebudayaan atas majunya perempuan, para pelajar, begitu hafalnya dengan nama-nama itu, tahun-tahun peristiwanya dan asal daerahnya.
Meski sebagian besar tak pernah mengerti benar konteks kebudayaannya, kecuali dalam kisah pikuk nuansa perang. Sebagiannya lagi, nama-nama perempuan itu tak dikenal, dihilangkan dalam catatan sejarah, tak sesuai dengan nalar kebudayaan dominan.
Ruang Perebutan
Saya meyakini kebudayaan sebagai sekumpulan ide-ide yang terus berkembang dan sebagian mewujud dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan karya-karya fisik yang sebagiannya membentuk artefak-artefak dan kesemuanya tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia akan bergerak maju untuk mencapai kemanusiaan yang paling tinggi. Proses pencapaian nilai kemanusiaan paling ideal dalam gagasan-gagasan kebudayaan adalah dengan menghindari penaklukan, dan apalagi pemaksaaan, termasuk dengan kekerasan, dan mengedepankan kebenarannya sendiri tanpa mau bersama-sama membangun kebenaran dalam berbagai kelompok sosial.
Dari sinilah lahir, gagasan kemajemukan budaya yang secara terus menerus melawan gagasan keseragaman kebudayaan dan narasi-narasi besar dari nilai-nilai kebudayaan yang akan melakukan penaklukan terhadap entitas-entitas budaya lokal. Pengembangan kebudayaan yang akan membentuk sebuah peradaban harus dihindarkan dari kehendak-kehendak memperadabkan kelompok tertentu yang diangga berkehidupan tak beradab.
Gagasan berasisasi sebagai ukuran kehidupan tak miskin pada era Orde Baru, telah membuktikan kegagalan yang luar biasa, dan bahkan menciptakan kemiskinan-kemiskinan sistemik yang akut. Pada sisi lain, pakaian yang dianggap sebagai simbol peradaban tinggi pun dipaksakan sebagai ukuran-ukuran universal, sehingga kelompok sosial yang secara tradisi memang tak berpakaian, lantas dinilai sebagai kelompok sosial yang tak beradab, dan meski juga diperadabkan.