Pendahuluan
Salah satu isu menarik yang pernah ada -bahkan mungkin masih tetap ada- dari fenomena keberagamaan kontemporer di Indonesia adalah munculnya gerakan Islam global atau yang disebut sebagai "Gerakan Islam Transnasional" yang salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan tersebut memang telah resmi dilarang dan dibubarkan pada 19 Juli 2017 oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), namun kenyataannya ideologi HTI yang mendorong pendirian negara Islam masih dengan mudah ditemukan di ruang publik. Hal itu disampaikan oleh akademisi Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Surakarta yang juga Direktur Amir Mahmud Center yakni Dr. Amir Mahmud, bahwa eksistensi HTI belum sepenuhnya hilang, karena pemikiran dan cita-cita khilafah telah mengakar. Tersedianya internet dan media sosial menjadi ladang subur bagi pergerakan HTI. Berbeda dengan manusia, ideologi tidak bisa dihalangi oleh tempat atau waktu. Ideologi juga memiliki resistensi tinggi untuk mempertahankan kehadirannya, serta mampu menyebar dari seseorang ke yang lainnya. Namun, bagaimana dengan teologi gerakan Islam transnasional Hizbut Tahrir, apakah juga terdapat kerancuan?
Sejarah dan Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir adalah partai politik internasional yang berideologi Islam. HT menjadikan akidah Islam sebagai asas dari partainya, sehingga ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan persoalan kehidupan dilakukan oleh HT hanya berlandaskan pada Islam. Pandangannya terhadap politik tidak seperti yang dipahami oleh banyak orang sebagai aktifitas dalam pemerintahan, akan tetapi HT justru memandang politik adalah bagaimana mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan syari'at Islam. Gerakan tersebut didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di al-Quds Palestina pada tahun 1953, yang mana dilatar belakangi oleh dua sisi, yaitu historis dan normatif. Secara historis, HT bediri sebagai respon terhadap keterpurukan umat Islam dalam waktu yang panjang, di mana sejak abad ke-19 M peradaban Islam berada di titik nadir akibat dominasi penjajahan barat. Sedangkan secara normatif, berdirinya HT adalah respon dari firman Allah Swt. dalam surah Ali Imran ayat 104;
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka lah orang-orang yang beruntung."
Menurut HT bahwa semua persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia Islam berpangkal pada tidak adanya kedaulatan al-Syari'. Maksudnya tidak diterapkannya sistem Islam di tengah-tengah masyarakat (Khilafah). Masalah utama ini yang selanjutnya memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kedzaliman, ketidakadilan, disintegrasi dan penjajahan dalam segala bentuknya, baik penjajahan secara langsung seperti yang kini terjadi di Palestina dan pernah terjadi di Afghanistan dan Irak, atau pun penjajahan secara tidak langsung di bidang ekonomi dan politik. Sebagaimana dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Islam ada kalau ada khilafah dan Islam tidak ada jika tidak ada khilafah (la islama illa bi al-khilafah atau la syari'ata illa bi al-daulah al-khilafah);
والقُعودُ عن إقامةِ خليفةٍ للمسلمين معصِيةٌ من أكْبرِ المَعاصِي، لأنّها قُعودٌ عن القيَامِ بفرْضٍ من أهمِّ فرُوضِ الإسلامِ، بل يَتوقَّفُ عليه وجودُ الإسلامِ في مُعترَكِ الحياةِ
Artinya: "Berpangku tangan dari usaha mendirikan seorang khalifah bagi kaum Muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khilafah."
Bahkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih tegas dan keras lagi menyatakan bahwa mengangkat khalifah adalah wajib dan tidak ada tawar menawar, jika tidak maka Allah akan mengadzab dengan adzab yang sangat pedih;
وإقامة خليفة فرضٌ على المسلمين كافة في جميع أقطارِ العالم. والقيام به (كالقيام بأي فرض من الفُروضِ التي فَرضَها الله على المسلمين) هو أمر مُحتَّمٌ لا تخيير فيه ولاهوادة في شأنه، والتّقصير في القيام به معصيّةٌ من أكبرِ المعاصي يعذب الله عليها أشد العذاب
Artinya: "Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas semua kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Melaksanakan pengankatan khalifah (sebagaimana pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain yang telah ditetapkan Allah atas kaum Muslim) adalah suatu keharusan, yang tidak ada pilihan lain dan tidak ada tawar menawar di dalamnya. Kelalaian dalam melaksanakan hal ini termasuk sebesar-besar maksiat, di mana Allah akan mengadzab dengan adzab yang sangat pedih."