Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pendidikan sosiologi UNJ 2023

Saya adalah mahasiswa semester 2, program studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyebab dan Dampak Terjadinya Fenomena Flexing pada Remaja

23 Oktober 2023   14:16 Diperbarui: 23 Oktober 2023   20:56 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena flexing pada remaja adalah fenomena yang muncul di era digital dan telah menjadi semakin umum di kalangan generasi muda saat ini. Kata flexing sendiri berasal dari bahasa Inggris, tepatnya dari kata flex, yang dalam konteks ini mengacu pada tindakan pamer atau menunjukkan. Fenomena flexing mencakup perilaku seseorang yang secara terang-terangan memamerkan kesuksesan, kekayaan, atau status sosial mereka dengan tujuan mendapatkan pengakuan atau perhatian dari orang lain.

Fenomena flexing adalah hal biasa di dunia media sosial yang mencakup platform seperti Instagram, TikTok, Snapchat, atau Twitter. Dalam lingkungan media sosial saat ini, remaja cenderung berbagi momen dalam hidup mereka yang menekankan kemewahan, kebahagiaan, atau pencapaian mereka. Seperti foto dengan barang-barang mewah, kisah perjalanan eksklusif, atau prestasi pribadi yang menonjol. Tindakan ini dapat menciptakan citra diri yang tampak glamor dan diharapkan mendapatkan perhatian positif serta mendapatkan jumlah like, komentar, dan followers yang tinggi.

Penyebab Fenomena Flexing pada Remaja

Fenomena flexing pada remaja adalah hasil dari sejumlah faktor kompleks yang mempengaruhi perilaku dan budaya generasi muda saat ini. Berikut adalah penyebab fenomena flexing pada remaja saat ini:

Media sosial memainkan peran penting dalam mendorong fenomena flexing. Remaja saat ini menghabiskan banyak waktu mereka di platform seperti Instagram, TikTok, Snapchat, dan Twitter. Karena seringnya menghabiskan waktu di platform tersebut, mengakibatkan mereka melihat gaya hidup glamor yang ditampilkan oleh selebriti, influencer, bahkan teman-teman mereka. Melalui unggahan gambar dan video yang upload atau disebarkan oleh selebriti, influencer dan teman sebayanya, remaja mendapat tekanan yang besar, yang akhirnya mendorong diri mereka untuk ikut menampilkan citra yang sama, yaitu seolah-olah sempurna dan glamor.

  • Tekanan Teman Sebaya

Teman sebaya memainkan peran penting dalam mendorong fenomena flexing. Remaja sering merasa perlu untuk bersaing dengan teman-teman mereka dalam kepemilikan barang-barang mewah atau pengalaman eksklusif yang mereka bagikan di media sosial. Persaingan tanpa akhir untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari teman teman mereka, mendorong remaja untuk melakukan hal-hal yang mungkin tidak akan mereka lakukan tanpa tekanan sosial seperti itu. Akibatnya, flexing menjadi cara untuk menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kekayaan yang sama atau diatas yang lainnya.

  • Perlu Validasi

Kebutuhan remaja untuk mendapatkan validasi dari orang lain, terutama dalam bentuk like, komentar positif, dan pengikut di media sosial, sangat mempengaruhi perilaku flexing. Mereka menggunakan interaksi positif di media sosial sebagai ukuran keberhasilan mereka dalam menampilkan gaya hidup glamor. Inilah sebabnya mengapa banyak dari mereka merasa perlu untuk terus mempertahankan citra yang tampak glamor, bahkan jika itu tidak selalu mencerminkan kehidupan nyata mereka.

  • Perilaku Konsumtif

Perilaku konsumtif mendorong individu untuk terus-menerus membeli barang baru atau mahal untuk mempertahankan citra mereka memiliki dampak besar pada fenomena flexing. Remaja sering merasakan tekanan untuk memiliki barang mewah atau terbaru, bahkan jika itu berarti menghabiskan keuangan mereka.

  • Krisis Identitas

Krisis identitas adalah fitur umum pada masa remaja. Selama waktu ini, remaja mencari identitas dan mencoba menemukan identitas mereka. Flexing dapat menjadi cara untuk menemukan dan mengekspresikan diri, terutama jika mereka merasa bahwa memiliki barang-barang mewah atau terlihat glamor adalah bagian dari identitas yang ingin mereka capai.

  • Ketergantungan pada Penguasaan Teknologi

Penggunaan teknologi yang intensif, terutama perangkat pintar dan media sosial, membuat remaja semakin lekat dengan citra online mereka. Mereka mungkin merasa terdorong untuk terus mempertahankan kehadiran digital yang menonjol.

Dampak Fenomena Flexing pada Remaja

Setelah membahas penyebab terjadinya fenomena flexing, kita akan membahas mengenai dampak fenomena flexing pada remaja.  Dampak ini terbagi menjadi beberapa aspek kehidupan, Yaitu:

  • Dampak Sosial:

Fenomena flexing telah menciptakan perubahan sosial yang mencolok di kalangan remaja. Beberapa dampaknya antara lain:

a. Perpecahan sosial

flexing dapat menciptakan jurang sosial yang lebih dalam antara remaja yang mampu memamerkan kekayaan atau flexing dan mereka yang tidak. Hal ini dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial dan menciptakan konflik dalam kelompok sebaya.

b. Pertumbuhan Kompetitif

remaja sering merasa perlu untuk bersaing dengan teman teman mereka atas kepemilikan barang-barang mewah atau pengalaman yang mereka bagikan di media sosial. Persaingan yang semakin ketat ini dapat mengganggu hubungan sosial yang seharusnya saling mendukung dan menyenangkan.

  • Dampak psikologis

Fenomena flexing juga berdampak pada kesejahteraan mental remaja dalam beberapa cara:

a. Stres dan Kecemasan

Remaja yang terlalu fokus pada citra online, akan  mengalami stres dan kecemasan. Mereka merasa perlu untuk selalu menjaga citra yang sempurna di media sosial, yang memicu tekanan psikologis yang tidak sehat.

b. Gangguan citra diri

Perilaku flexing dapat mempengaruhi perkembangan citra diri yang sehat. Remaja mungkin merasa tidak cukup atau tidak mampu tanpa memiliki barang-barang mewah atau gaya hidup yang tampak glamor. Ini dapat berdampak negatif pada harga diri mereka.

c. Ketidakpuasan

Mengejar gambaran kesuksesan dan kebahagiaan yang tidak realistis dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup. Remaja mungkin merasa terus-menerus tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan mencari kebahagiaan dalam hal materi.

  • Dampak Ekonomi:

Flexing juga memiliki dampak ekonomi pada remaja, yang mungkin belum memiliki sumber pendapatan sendiri:

a. Pengeluaran Tidak Terkendali

Dalam upaya mempertahankan citra glamor di media sosial, remaja dapat menghabiskan jumlah uang yang tidak terkendali untuk barang-barang mewah atau mengikuti tren gaya hidup tertentu. Ini dapat berdampak negatif pada stabilitas keuangan mereka.

b. Prioritas yang Salah

Flexing dapat membuat remaja memprioritaskan citra online mereka di atas kepentingan pendidikan atau pengembangan pribadi. Hal ini dapat mengakibatkan pengorbanan dalam hal kualitas pendidikan dan peluang karir masa depan mereka.

Fenomena flexing pada remaja merupakan cerminan dari perubahan budaya yang mempengaruhi generasi muda. Remaja di era media sosial saat ini terus berusaha untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan validasi, namun hal ini sering berdampak pada aspek sosial, keuangan, dan psikologis kehidupan mereka. Penting bagi orang tua, pendidik, dan remaja sendiri untuk memahami fenomena ini dan memberikan pengertian pada remaja, bahwa kesuksesan dan kebahagiaan tidak hanya didasarkan pada citra di media sosial.

Sumber referensi:

Raharja, dkk. 2023. Peran Pendidikan Karakter untuk Menghadapi Tren Flexing di Era Teknologi. Semarang: Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana Vol. 6 No. 1

Pohan, dkk. 2023. Fenomena Flexing di Media Sosial dalam Menaikkan Popularitas Diri sebagai Gaya Hidup. Sumatera Utara: JKOMDIS Vol. 3 No.2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun