Mohon tunggu...
Sakti
Sakti Mohon Tunggu... Insinyur - Urbanis, Humanis, Moderat

Urbanis, Humanis, Moderat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Efektifkah Program 3 Juta Rumah?

25 Oktober 2024   15:50 Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah meningkatnya kebutuhan akan hunian layak di Indonesia, muncul program ambisius dari pemerintahan baru untuk membangun 3 juta rumah. Program ini didorong oleh krisis backlog perumahan, yang merujuk pada ketimpangan antara jumlah rumah yang tersedia dan jumlah keluarga yang membutuhkan. Namun, fenomena ini bukan sekadar tentang jumlah. 

Kenyataannya, konsep backlog sering kali hanya fokus pada kuantitas dan mengabaikan kualitas, keterjangkauan, serta aksesibilitas. Akibatnya, tercipta apa yang disebut "ilusi pemenuhan perumahan," di mana ribuan rumah formal terbangun, tetapi tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.

Secara konsep, backlog perumahan di Indonesia dihitung sebagai selisih antara jumlah rumah yang tersedia dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh keluarga. Sederhana dan tampak logis, tetapi pada praktiknya, perhitungan ini penuh kekurangan. Dalam konteks Indonesia, perumahan sering kali terbangun di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi, pendidikan, atau layanan kesehatan. 

Hasilnya, meskipun rumah ada, jarak yang jauh dan biaya transportasi yang tinggi membuatnya tidak layak huni bagi sebagian besar calon penghuni. Fenomena ini menciptakan kesenjangan di mana rumah berdiri kosong sementara kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap tidak terpenuhi.

Faktor berikutnya yang menciptakan ilusi pemenuhan perumahan adalah maraknya spekulasi properti. Banyak pengembang dan investor melihat properti sebagai instrumen investasi yang menguntungkan. Maka, tidak sedikit perumahan formal yang dibeli untuk tujuan investasi, bukan sebagai tempat tinggal. Rumah-rumah ini dibiarkan kosong dengan harapan nilai properti meningkat di masa depan. 

Dampaknya, meskipun secara kuantitas backlog berkurang, nyatanya rumah-rumah ini tidak dihuni oleh mereka yang membutuhkan, tetapi justru menjadi aset menguntungkan bagi segelintir investor.

Lebih jauh, ada masalah keterjangkauan. Program pembangunan 3 juta rumah ini tidak selalu didasarkan pada kemampuan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi lebih sering mengutamakan kuantitas atau harga pasaran yang dirancang untuk mencapai target bisnis. 

Rumah-rumah formal yang dibangun seringkali dibanderol dengan harga yang tinggi, membuat masyarakat menengah ke bawah kesulitan untuk memiliki hunian tersebut. 

Dalam kondisi ini, pembangunan perumahan lebih terlihat sebagai pemenuhan angka target daripada sebagai upaya konkret menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat yang paling membutuhkan.

Namun, bukan hanya masyarakat kelas bawah yang terpengaruh oleh ilusi backlog ini. Banyak masyarakat kelas menengah yang, meskipun memiliki kemampuan membeli rumah, tetap kesulitan menemukan hunian di lokasi yang sesuai dengan kebutuhan. 

Pembangunan perumahan yang terpusat di pinggiran kota atau di daerah terpencil menambah beban ekonomi bagi mereka yang bekerja di pusat kota. Meskipun harga perumahan mungkin terjangkau, biaya transportasi dan waktu tempuh yang panjang menambah beban, sehingga menjauhkan perumahan ini dari kategori "layak huni."

Ilusi pemenuhan perumahan ini menunjukkan pentingnya evaluasi ulang terhadap konsep backlog yang digunakan saat ini. Pendekatan yang terlalu berfokus pada angka dan kuantitas tanpa mempertimbangkan aspek-aspek vital seperti lokasi, keterjangkauan, dan relevansi dengan kebutuhan masyarakat menciptakan pemenuhan yang tampak sukses di atas kertas tetapi gagal di lapangan. 

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengembangkan konsep backlog yang lebih komprehensif, yang tidak hanya menghitung jumlah rumah, tetapi juga mengevaluasi kualitas dan relevansinya terhadap kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.

Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah melalui pemetaan lokasi pembangunan yang berbasis pada data kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Alih-alih membangun di wilayah yang jauh dari pusat aktivitas, pemerintah dapat mengidentifikasi lokasi-lokasi strategis yang akan memungkinkan masyarakat untuk menjalani hidup lebih layak dan produktif. 

Selain itu, kebijakan yang lebih ketat terhadap spekulasi properti perlu diterapkan. Investor yang membeli properti semata-mata untuk investasi jangka panjang tanpa niat menempati atau menyewakannya, idealnya dikenakan pajak tambahan atau pembatasan untuk memastikan bahwa perumahan yang ada benar-benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta juga dapat membantu mengatasi masalah keterjangkauan. Skema subsidi, kredit pemilikan rumah berbunga rendah, atau pengembangan perumahan bersama antara pemerintah dan pengembang dapat menyediakan hunian yang tidak hanya terjangkau tetapi juga layak dan berada di lokasi yang strategis. Dengan langkah-langkah ini, pemenuhan perumahan akan menjadi lebih nyata, bukan sekadar ilusi angka.

Program 3 juta rumah per tahun adalah inisiatif yang ambisius dan, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan dampak besar dalam mengurangi krisis perumahan. Namun, tanpa perubahan mendasar dalam cara kita menghitung dan memahami backlog perumahan, program ini berisiko menjadi sekadar pemenuhan angka di atas kertas tanpa dampak nyata. 

Pemerintah perlu mengingat bahwa pemenuhan perumahan yang sesungguhnya bukan hanya tentang berapa banyak rumah yang terbangun, tetapi juga seberapa banyak rumah tersebut yang benar-benar dihuni oleh masyarakat yang membutuhkan, memberikan kehidupan yang lebih layak, dan mendukung kesejahteraan jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun