Pembangunan perumahan yang terpusat di pinggiran kota atau di daerah terpencil menambah beban ekonomi bagi mereka yang bekerja di pusat kota. Meskipun harga perumahan mungkin terjangkau, biaya transportasi dan waktu tempuh yang panjang menambah beban, sehingga menjauhkan perumahan ini dari kategori "layak huni."
Ilusi pemenuhan perumahan ini menunjukkan pentingnya evaluasi ulang terhadap konsep backlog yang digunakan saat ini. Pendekatan yang terlalu berfokus pada angka dan kuantitas tanpa mempertimbangkan aspek-aspek vital seperti lokasi, keterjangkauan, dan relevansi dengan kebutuhan masyarakat menciptakan pemenuhan yang tampak sukses di atas kertas tetapi gagal di lapangan.Â
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengembangkan konsep backlog yang lebih komprehensif, yang tidak hanya menghitung jumlah rumah, tetapi juga mengevaluasi kualitas dan relevansinya terhadap kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.
Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah melalui pemetaan lokasi pembangunan yang berbasis pada data kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Alih-alih membangun di wilayah yang jauh dari pusat aktivitas, pemerintah dapat mengidentifikasi lokasi-lokasi strategis yang akan memungkinkan masyarakat untuk menjalani hidup lebih layak dan produktif.Â
Selain itu, kebijakan yang lebih ketat terhadap spekulasi properti perlu diterapkan. Investor yang membeli properti semata-mata untuk investasi jangka panjang tanpa niat menempati atau menyewakannya, idealnya dikenakan pajak tambahan atau pembatasan untuk memastikan bahwa perumahan yang ada benar-benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta juga dapat membantu mengatasi masalah keterjangkauan. Skema subsidi, kredit pemilikan rumah berbunga rendah, atau pengembangan perumahan bersama antara pemerintah dan pengembang dapat menyediakan hunian yang tidak hanya terjangkau tetapi juga layak dan berada di lokasi yang strategis. Dengan langkah-langkah ini, pemenuhan perumahan akan menjadi lebih nyata, bukan sekadar ilusi angka.
Program 3 juta rumah per tahun adalah inisiatif yang ambisius dan, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan dampak besar dalam mengurangi krisis perumahan. Namun, tanpa perubahan mendasar dalam cara kita menghitung dan memahami backlog perumahan, program ini berisiko menjadi sekadar pemenuhan angka di atas kertas tanpa dampak nyata.Â
Pemerintah perlu mengingat bahwa pemenuhan perumahan yang sesungguhnya bukan hanya tentang berapa banyak rumah yang terbangun, tetapi juga seberapa banyak rumah tersebut yang benar-benar dihuni oleh masyarakat yang membutuhkan, memberikan kehidupan yang lebih layak, dan mendukung kesejahteraan jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H